Keluar Dari Hutan

 

Sumber: Bing

 

Penokohan

Azrail                        : Seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh tahun, dengan perawakan tubuh berisi dan berotot yang memiliki tinggi sekitar 170 cm, mata berwarna cokelat dan rambut berwarna hitam. Merupakan kekasih dari Rachel. Pekerjaan sehari-harinya adalah berburu di hutan. Sering mengenakan pakaian kemeja lengan panjang berwarna putih dengan rompi khusus.

Rachel                       : Seorang perempuan yang memiliki ambisi tinggi terhadap tujuannya. Sering mengenakan pakaian berupa gaun tanpa korset. Memiliki mata berwarna cokelat dan rambut pendek lurus berwarna hitam. Berusia dua puluh tahun, dengan perawakan tubuh kurus dan tinggi sekitar 155 cm. Kekasih dari Azrail, sahabat dari Sania.

Sania                          : Seorang perempuan dengan perawakan tubuh lebih tinggi daripada Rachel, sekitar 160 cm dengan rambut merah panjang yang tergerai. Warna matanya hijau muda. Sangat ceria dan setia kawan. Suka dan handal dalam memasak. Merupakan sahabat dari Rachel. Berusia dua puluh satu tahun. Sering mengenakan pakaian yang sama dengan sahabatnya.

Wanita muda/Norah : Seorang perempuan berusia dua puluh tahun, dengan perawakan tubuh yang kurus dan memiliki tinggi yang sama dengan Rachel. Memiliki mata berwarna cokelat dan rambut lurus pendek berwarna hitam.

Ojasvi                        : Seorang laki-laki dengan perawakan tubuh kurus dan tinggi, berusia dua puluh lima tahun. Merupakan teman dari Rachel.

Milani                        : Seorang perempuan yang ceria, kekanak-kanakan, dengan perawakan tubuh agak berisi dengan tinggi 158 cm. Berusia dua puluh tahun, merupakan teman dari Rachel.

Riley                           : Seorang laki-laki berusia dua puluh dua tahun, dengan perawakan tubuh yang kurus dan tinggi sekitar 175 cm. Merupakan teman dari Rachel.

 

Dialog

(Lampu panggung perlahan menyala. Di kamar tidur perempuan dengan tembok dan lantai bernuansa kayu, beberapa foto polaroid tergantung dan lampu tumblr yang menjalar. Di jendela kamar tampak gorden telah terbuka dan sinar matahari masuk menembus sehingga menerangi kamar. Seorang perempuan sedang duduk di atas tempat tidur dengan keadaan fisik yang cukup berantakan akibat baru saja bangun dari tidur.)

Rachel                 : (Menghela napas) Hari ini itu jadwal aku harus pergi ke pondok Ruvee di seberang desa untuk belajar menggambar lagi, ya? Ah, rasanya malas banget!

Sania                   : (Datang dengan membawa cangkir berisi teh manis panas) Pagi, Rachel… eh, kamu udah bangun, ya? Apa keadaanmu udah membaik sejak semalam?

Rachel                 : (Kebingungan sembari mengernyitkan dahi) Emang aku kenapa, San?

Sania                   : Kamu nggak ingat? Semalam Azrail mengantarkanmu kesini dalam keadaan setengah sadar.

Rachel                 : A-apa? Aku nggak ingat apapun.

Sania                   : Ya, tentu aja kamu nggak ingat apa-apa. Di pipimu yang putih itu ada sebuah rona berwarna merah. Azrail bilang, kamu terbentur sedikit ketika perjalanan pulang.

Rachel                 : (Tatapan kosong dan mengangguk) Oh iya, kayaknya benar. Atau aku benar-benar mengantuk, jadinya aku menepuk pipiku sendiri hingga menimbulkan rona merah itu.

Sania                   : Hmm, ada apa sih, Hel? Cerita, dong! (Duduk mendekat)

Rachel                 : Oh, nggak ada apa-apa. Kamu nggak perlu khawatir. Lagipula, (Menghela napas) aku harus pergi dalam beberapa menit lagi ke pondok Ruvee.

Sania                   : Tuh, pasti ada apa-apa, kan? Kamu kelihatan kurang semangat. Padahal, menggambar itu kan salah satu hobimu. Ada apa? Cerita, dong. Aku ini kan sahabatmu.

Rachel                 : (Tidak menggubris) Aku minum ya, teh manis panasnya. (Meminum teh manis panas dari cangkir). Enak banget, loh! Makasih banyak ya, hehe. (Tertawa kecil) Nanti kalau waktunya tepat, aku bakal cerita, kok.

Sania                   : Iya, iya. Yaudah sana, siap-siap dulu. Wajah kamu berantakan banget, tahu. Semangat, Hel!

Rachel                 : (Bergegas pergi dengan berlari kecil ke kamar mandi) Iya, makasih, San. Byeee!

 

(Lampu panggung kemudian meredup hingga mati, Sania dan Rachel turun ke backstage bawah panggung.)

 

(Latar berganti, Rachel masuk ke atas panggung. Di hutan yang cukup sepi pada siang hari, seorang perempuan tengah berjalan sendirian dengan membawa tas jinjing berisi peralatan menggambar. Sinar matahari terlihat dari balik pohon-pohon yang menjulang tinggi. Suasana sekitar cukup tenang dengan terdengar suara kicauan burung bersahutan.)

Rachel                 : Aku harap aku bisa libur hari ini dari kelas menggambar. (Menghela napas) Huft.. tapi kalau aku libur, aku nggak dapat materi yang sangat berharga dan akhirnya nggak bisa mengejar mimpiku menjadi pelukis terkenal di kota ini. (Diam sejenak) Sebenarnya, aku takut. Aku sedang lari dari suatu masalah, ya?

(Kemudian masuk ke panggung dan lewat seorang wanita muda yang sangat cantik dengan rambut pendek mengenakan midi dress bermotif bunga sedang berjalan sendirian juga membawa sebuah keranjang anyaman beserta isinya. Wanita muda itu berpapasan dengan Rachel dan menyapanya.)

Wanita muda       : Ehm, permisi.. (Menyapa). Aku mau bertanya sedikit. Tapi sebelumnya, aku ganggu waktumu, nggak?

Rachel                 : Oh iya, silakan. Mau tanya apa, ya? (Tersenyum ramah)

Wanita muda       : Arah keluar dari hutan ini, kemana ya? Aku udah tersesat disini selama beberapa hari...

Rachel                 : (Menatap dengan terkejut) A-apa? Kamu udah tersesat disini selama beberapa hari? Emangnya kamu nggak bawa kompas? Kamu bukan orang sini, ya?

Wanita muda       : Ah, iya.. aku bukan orang sini. Aku datang dari luar, lupa membawa kompas. Tapi, aku membawa beberapa barang di keranjang ini. (Melirik keranjang).

Rachel                : Tunggu, aku membawa sepotong roti di dalam tasku, kamu bisa memakannya. (Mengeluarkan roti dari tas). Ini. (Memberikan roti)

Wanita muda       : (Menerima roti) Makasih banyak! Aku nggak tahu harus membalas budi seperti apa. Selama ini, aku cuma mengandalkan tumbuh-tumbuhan di hutan ini. Skill survival-ku seketika bangkit.

Rachel                 : Ya, kamu emang butuh banget makanan asli. Nanti setelah ini, kalau mau keluar dari hutan ini kamu cukup mengikuti satu-satunya pohon dedalu yang ada di hutan ini dan belok ke kanan. Nantinya akan terlihat desa terdekat.

Wanita muda       : Kamu hebat banget, ya, bisa ingat jalan keluar dari hutan ini.

Rachel                 : Oh, aku emang tinggal di dekat sini. Jadi, aku terbiasa untuk mengingat jalan-jalan di hutan ini. Emang kamu datang darimana? (Tiba-tiba menghadap kepada wanita muda).

Wanita muda       : Aku dari sebelah Selatan sana, tahu?

Rachel                 : Selatan?

Wanita muda       : Iya, kamu tahu? (Tersenyum kepada Rachel lalu diam sejenak). Oh, maaf. Kayaknya kamu nggak tahu, ya.

Rachel                 : Kapan-kapan, aku boleh nggak main ke tempatmu?

Wanita muda       : Boleh! Nanti jangan lupa main, ya. Aku bakal membuatkan kamu banyak makanan enak.

Rachel                 : Siap. (Memberi isyarat tangan hormat). Oh iya, nama kamu siapa? Kita belum berkenalan sejak tadi.

Wanita muda       : Orang-orang memanggilku “Norah”. Tapi sejujurnya, aku kurang suka dipanggil itu, hehe. Tapi nggak apa-apa. Kalau kamu gimana?

Rachel                 : Aku Rachel. Oh ya, sebenarnya, sekarang aku sedang di tengah perjalanan menuju sebuah pondok di seberang desa untuk menghadiri sebuah kelas. Mungkin aku akan sedikit terlambat, tapi nggak apa-apa. (Tersenyum).

Wanita muda       : Maaf, Rachel! Ehm, kalau begitu, sebentar.. aku punya sesuatu buat kamu.

Rachel                : Kamu ini.. aku itu emang niat membantu kamu. Jadi, nggak perlu repot-repot begini.

Wanita muda       : Udah, Hel. Nggak repot-repot kok, anggap aja ini kenang-kenangan dari aku. Siapa yang tahu kalau kita bakal ketemu lagi atau nggak?

Rachel                 : Yaampun Norah, makasih banyak, loh. Aku merasa nggak enak.

Wanita muda       : (Tertawa kecil dan tersenyum) Hehehe, iya, Hel. Sekarang, kamu tutup mata dan dalam hitungan ketiga kamu buka mata, ya.

Rachel                 : (Menutup mata) Sumpah, deh. Kamu misterius banget, sih.

(Wanita muda tersebut menaruh sebuah boks kecil berwarna merah tua di hadapan Rachel, kemudian meninggalkan panggung berlatar hutan dan turun ke backstage.)

Rachel                 : Aku buka mata ya.. (Membuka mata). Oh? Norah, kamu kemana? (Celangak-celinguk) Ini apa.. (Mengambil boks kecil merah tua tersebut).

(Azrail masuk ke panggung, seketika suasana hutan menjadi mencekam, ditandai dengan hilangnya kicauan burung dan bergantinya musik yang menegangkan. Warna hutan menjadi gelap dengan warna sorotan lampu yang ikut meredup juga.)

Azrail                  : Sayang? Kamu kenapa sendirian disini seperti orang yang sedang bingung?

Rachel                 : (Terkejut) EH?! Il.. maaf, aku kaget. Tadi aku hendak pergi ke pondok Ruvee. Tapi di tengah perjalanan, ada seorang wanita muda yang terlihatnya tersesat. Jadi, aku memutuskan untuk membantunya dulu.

Azrail                  : Kamu bohong kepadaku, ya? Aku nggak lihat apa-apa sejak tadi disini.

Rachel                : (Berbicara dengan ekspresi ketakuan) Nggak kok, Il. Sumpah, tadi dia ada disini, berbicara denganku. Bahkan, dia mengajakku buat berkunjung kerumahnya.

Azrail                  : Apa-apaan? Aku nggak percaya! Masa kamu melihat hantu? Disini nggak ada hantu, tahu. (Ekspresi wajah kesal).

Rachel                 : Ini, Il.. (Menyodorkan boks kecil merah tua). Kalau kamu nggak percaya, tadi dia memberikanku ini. Aku nggak mungkin bohong sama kamu.

Azrail                  : (Menerima boks tersebut) Hmm, apa ini? Kenapa dia tiba-tiba memberikanmu benda ini?

Rachel                 : Aku juga nggak tahu. Tadi, aku disuruh untuk menutup mata ketika dia memberikanku ini dan membukanya lagi ketika aku menerimanya. Namun, ketika aku membuka mata dia sudah tidak ada disini.

Azrail                  : (Mengernyitkan dahi) Aneh.

Rachel                 : Ya, kan? Makanya, tadi aku terlihat seperti orang yang sedang bingung. Aku bingung mencarinya, dia hilang begitu aja.

Azrail                  : Yaudah. Sekarang bagaimana? Bukannya kamu ada kelas hari ini?

Rachel                 : Iya.

Azrail                  : Lupakan kejadian-kejadian tadi. Sekarang, fokus dengan kelasmu. Kalau begitu, aku mau melanjutkan lagi berburuku. Sampai jumpa nanti.

(Azrail kemudian pergi ke backstage meninggalkan Rachel sendirian di hutan. Musik menegangkan juga menghilang, berganti dengan keheningan dan kembalinya warna hutan yang cerah.)

Rachel                 : (Menghelas napas dan berbicara sendiri) Ah, lagi-lagi aku sendirian. Ditinggal oleh dua orang di hutan ini. Meskipun aku sudah mengetahui jalan keluarnya, tapi tetap aja seperti merasa hampa. Udah, udah, Hel. Lebih baik kamu cepat-cepat pergi ke pondok Ruvee lagi. Udah telat hampir sepuluh menit.

(Rachel kemudian melanjutkan perjalanannya dan menyimpan boks kecil merah tua tadi di dalam tas jinjingnya. Lampu panggung meredup lagi. Rachel pergi ke backstage.)

 

(Lampu perlahan menyorot terang, latar berganti di sebuah ruang makan bernuansa tembok dan lantai kayu. Disini, terdapat Azrail, Rachel, dan Sania. Rachel sedang duduk di meja makan berhadapan dengan Azrail, sedangkan Sania sedang memasak makanan untuk makan malam mereka.)

Azrail                  : (Berdehem) Bisa kamu ceritakan mengenai apa yang terjadi tadi siang, sayang?

Rachel                 : Oh, itu. Jadi, tadi aku bertemu seorang wanita muda di tengah hutan. Saat aku menanyakan namanya, ia memperkenalkan diri sebagai Norah. Dan ia datang dari daerah Selatan. Dia bilang, dia tersesat di hutan ini.

Azrail                  : Kamu serius mengenai hal itu?

Rachel                 : Tentu aja, sayang. Aku nggak mungkin bohong ke kamu.

Azrail                  : Bagaimana ciri-cirinya?

Rachel                 : Ehm.. jujur, aku nggak begitu ingat. Tapi yang paling aku perhatikan adalah dia mengenakan midi dress bermotif bunga dan rambutnya.. pendek. Oh! Dan dia membawa sebuah keranjang anyaman.

Sania                   : Oh, Rachel.. apakah kamu nggak salah lihat? (Berbicara sambil memasak). Apakah dia cantik seperti kita? Hahaha. (Tertawa kecil).

Rachel                 : Dasar, kenapa kamu malah membicarakan cantik atau tidaknya?! Tentu aja dia cantik seperti kita. Bahkan, dia lebih cantik daripada kita. Padahal, dia bilang, dia udah tersesat di hutan ini selama beberapa hari.

Azrail                  : Sayang, kamu yang paling cantik disini. (Merayu dan tersenyum kepada Rachel).

Sania                   : (Berdehem) Ehm, maaf, kalau ingin bermesraan tolong jangan disini, ya. Hahaha.

Rachel                 : Maafkan Azrail, San. Hehehe, makasih, Sayang. (Tersenyum kepada Azrail). Tapi aku serius, dia cantik banget!

Sania                   : Apa kamu bisa memberikan penjelasan mengenai hal itu, Il? Sebagai orang yang suka sekali dengan alam bebas dan berburu, tentunya kamu tahu, bukan?

Azrail                  : Kurasa dia mengkonsumsi beberapa tumbuhan yang ada di hutan itu. Ya, emang ada beberapa yang kutahu itu dapat membuat wajah dan tubuh menjadi berseri kembali.

Sania                   : (Menghentikan kegiatan memasaknya) Wah!! Aku juga mau seperti dia. Nanti, aku bakal libur dulu memasak makanan untuk kita, aku mau mengkonsumsi tumbuhan itu.

Rachel                 : San, kalau kamu mau mengkonsumsi tumbuhan itu, silakan. Tapi, aku akan tetap memasak untuk diriku sendiri! (Memberikan ekspresi muka cemberut).

Azrail & Sania    : Hahaha. (Tertawa bersama).

Rachel                 : Oh iya, besok aku ada kelas menggambar lagi di pondok Ruvee. Tapi, tadi Ms. Sarah memberikan kami perintah untuk mengadakan kelas di luar. Jadi, diadakan kelompok dan dibagi menjadi empat orang anggota perkelompok. Dan aku sekelompok dengan Ojasvi, Milani, dan Riley. Sepertinya terdengar menyenangkan, bukan?

Sania                   : Itu sih bukan terlihat menyenangkan lagi, pasti emang menyenangkan! (Menghela napas) Ah, andaikan kelas memasak juga ada yang seperti itu.

Azrail                  : Kamu nggak usah ikut dulu besok.

Rachel                 : T-tapi kenapa, Il? Kan kamu tahu sendiri kalau aku benar-benar menyukai kelas itu. Ditambah, besok aku akan mengerjakan bersama teman-teman yang lain.

Azrail                  : Kalau aku bilang nggak usah, ya nggak usah. (Menjawab dengan ketus).

Sania                   : (Menghentikan kegiatan memasaknya) Aduh, Il. Itu kekasihmu, loh. Lagipula, dia berhak menentukan pilihannya sendiri.

Azrail                  : (Terdiam).

Rachel                 : (Melirik Sania) Eh, San, bagaimana makanannya? Ada yang perlu aku bantu? (Berdiri menuju ke Sania).

Sania                   : Kamu cium wanginya, nggak? Jelas aku udah selesai. Kari massaman siap dihidangkan..

Rachel                 : Wah, Chef Sania benar-benar hebat. Aku kalah, huhuhu. (Mengeluarkan ekspresi wajah sedih) Kalau begitu, aku bantu untuk menghidangkannya. (Mengambil makanan tersebut dari panci, lalu menaruh di meja makan).

Azrail                  : Aku nggak ikut makan malam dulu. Aku pulang sekarang. (Berdiri kemudian pergi ke backstage meninggalkan Rachel dan Sania).

Sania                   : Aneh banget, deh, kekasihmu itu.

Rachel                 : (Menghela napas dan menutup wajah) Nanti aku bakal hampiri dia setelah makan. Jangan dipikirkan, San.

Sania                   : Bagaimana aku nggak memikirkan? Dia itu bisa berubah jadi orang yang berbeda dengan cepat. Beberapa menit yang lalu, dia memujimu. Namun, beberapa menit kemudian juga, dia meninggalkanmu begitu aja. (Berbicara sambil mengambil hidangan ke piring)

Rachel                 : Ya.. begitulah Azrail, San.

Sania                   : Kamu nggak apa-apa?

Rachel                 : Dia mungkin cuma cemburu mendengarku tadi bahwa besok aku akan pergi ke hutan bersama dengan satu teman perempuan dan dua teman lelakiku.

Sania                   : Itu nggak masuk akal, Hel! (Memutar bola mata). Kamu itu mau belajar, bukan mau bermesraan dengan mereka.

Rachel                 : Ya, aku juga tahu itu. Tapi, sepertinya Azrail nggak percaya kepadaku. Jadi, mungkin, besok aku nggak bakal datang dulu ke pondok Ruvee. Aku akan beralasan sakit, agar teman sekelompokku mau memaklumiku untuk tidak datang.

Sania                   : (Berteriak) APA?!! Rachel, sekarang usiamu itu dua puluh tahun. Kamu berhak menentukan pilihanmu sendiri. Apa yang membuatmu hingga begini, sih? Hingga kamu benar-benar takut dengan kemarahan Azrail tadi?

Rachel                 : (Makan sambil mendengarkan Sania).

Sania                   : Jawab, Hel.

Rachel                 : Maaf, San.

Sania                   : Maaf? Hanya maaf? Kamu kenapa sih, Hel? Aku tuh nggak butuh maaf kamu, tahu. Aku hanya perlu jawaban dari yang aku tanyakan tadi.

Rachel                 : Maaf sudah membuatmu marah seperti itu.

Sania                   : (Menghentikan kegiatan makan) Rachel, sahabatku, kamu kalau ada apa-apa, bilang. Aku selalu ada disini buat kamu. Hanya saja, menurutku, apa yang Azrail katakan kepadamu tadi itu tidaklah baik. Kamu berhak membuat keputusanmu sendiri. Apalagi, menggambar itu merupakan hobimu. Bukankah mimpimu adalah menjadi pelukis terkenal di kota ini? (Tersenyum).

Rachel                 : Iya, San.

Sania                   : Kalau begitu, kejar mimpimu, Hel. Lupakan perkataan Azrail tadi, kalau dia macam-macam sama kamu, tuh, lihat spatula itu. (Menunjuk spatula). Akan aku buat dia memar!

Rachel                 : Hahaha (Tertawa kecil). Kamu lucu banget, sih. Makasih lagi, ya, San.

Sania                   : Dan satu lagi pesanku, kalau kamu merasa nggak nyaman dengan Azrail dan kamu merasa dia menghambatmu dalam berproses, tinggalkan dia, ya. (Diam sejenak) Yaudah. Yuk, kita lanjutkan lagi makan kita.

(Rachel dan Sania kemudian melanjutkan makan hingga lampu panggung meredup. Keduanya kemudian pergi ke backstage. Kemudian, latar berganti lagi keesokan harinya di hutan dengan suasana dan alunan musik yang cukup tenang. Rachel, Ojasvi, Milani, dan Riley masuk ke atas panggung.)

Ojasvi                  : Kalian udah ada ide untuk menggambar?

Milani                  : Belum, nih. (Berpikir sejenak).

Rachel                 : Sepertinya, aku udah ada ide. Tapi, maaf kawan-kawan. Ideku bukan di sini. Jalan yang tadi kita lewati, di situlah ideku. Jadi, aku minta izin untuk menggambar disana, ya?

Milani                 : Oh, si jenius Rachel! Aku kagum banget sama kamu. (Bertepuk tangan).

Riley                    : Mau ditemani, Hel?

Rachel                 : Ah, nggak usah. Makasih, Ley. (Tersenyum). Nanti aku akan kemari lagi ketika gambarku telah selesai.

Milani                  : Tunggu.. sebenarnya aku bingung ingin menggambar apa. Aku belum memiliki ide itu sejak kemarin. (Muka cemberut).

Rachel                 : Jadi?

Milani                  : Hehehe (Tertawa kecil). Bantu aku..

Rachel                 : Iya, iya. Aku bisik ke Ojasvi, ya. Nanti, kamu tanya sendiri ke dia.

(Rachel berbisik kepada Ojasvi, kemudian Ojasvi menggangguk.)

Milani                  : Asik!! Makasih banget ya, Hel. (Memeluk Rachel).

Rachel                 : Iya, sama-sama. Yaudah, aku kesana dulu, ya.

(Lampu panggung kemudian meredup hingga mati. Ojasvi, Milani, dan Riley pergi ke backstage, menyisakan Rachel sendirian yang telah menggelar kanvas dan peralatan gambarnya yang lain.)

Rachel                 : Ah, suasananya cukup tenang disini. Namun, tubuh mereka masih terlihat dari sini. (Melihat kearah depan).

(Seketika suara senapan terdengar, peluru senapan tersebut menembus pohon di dekat Rachel.)

Rachel                 : Astaga!

(Azrail masuk ke panggung, suasana menjadi mencekam lagi, dengan alunan musik yang cukup menegangkan.)

Azrail                  : Rachel?! Kenapa kamu ada disini? Bukannya kemarin aku nggak mengizinkanmu untuk kelas?

Rachel                 : A-aku mau kelas, Il.. (Menjawab dengan takut).

Azrail                  : (Datang mendekat ke Rachel) Kamu nggak mendengarkanku kemarin, ya?

Rachel                 : Aku dengar..

Azrail                  : Aku nggak suka kamu dekat-dekat dengan Riley dan Ojasvi!

Rachel                 : Tapi mereka cuma anggota kelompokku, dan aku disini serius untuk mengejar mimpiku.

Azrail                  : Mimpi? Apa itu mimpi? Aku nggak peduli selama kamu dekat-dekat dengan lelaki selain aku! (Sedikit berteriak).

Rachel                 : Azrail, aku mau bicara. (Diam sejenak) Sebenarnya, aku sangat menjunjung tinggi banget mimpiku. Aku harus mengejarnya. Aku nggak peduli apa yang kamu bicarakan semalam. Maafkan aku, Apa kamu nggak bisa mendukung mimpiku aja?

Azrail                  : Sekarang kamu keterlaluan, ya. Berani bicara seperti itu.

Rachel                 : Maaf, maaf, maaf, Il. Aku nggak mau membuatmu marah seperti ini. Sekarang apa yang bisa aku lakukan buat menebus kesalahanku tadi?

Azrail                  : (Menghela napas) Nggak ada.

Rachel                 : Ayo, Il. Aku mohon. (Memegang tangan Azrail).

Azrail                  : (Menepis tangan Rachel) Kalau aku bilang nggak ada, ya nggak ada! (Berteriak) Dasar perempuan murahan!

Rachel                 : (Menahan diri untuk tidak marah dan tidak menangis).

Azrail                  : Perempuan sepertimu, pantas untuk menerima sebuah tamparan. (Menampar Rachel).

Rachel                 : (Syok, kemudian memegang pipinya).

Azrail                  : Sayang.. maaf.. (Menghampiri Rachel) Aku dalam emosi yang benar-benar dalam.

Rachel                 : Nggak usah dekat-dekat lagi denganku, Il. (Menangis) Nggak cuma sekali ini kamu menamparku seperti tadi. Aku udah nggak tahan, aku mau memutus hubungan kita.

Azrail                  : Iya, sayang. Maafkan aku.. selamanya aku bakal menyesal.

Rachel                 : (Menangis, berlari ke rumah, tidak menggubris Azrail).

(Kemudian Rachel pergi ke backstage dengan Azrail yang berdiri diam mematung dalam kesendirian, lampu panggung perlahan meredup hingga mati.)

 

(Azrail pergi ke backstage, latar pun berganti menjadi di sebuah kamar perempuan dengan tembok dan lantai bernuansa kayu, beberapa foto polaroid tergantung dan lampu tumblr yang menjalar. Terduduklah Rachel di atas tempat tidur, memeluk kedua kakinya. Ia sedang menangis. Sania masuk ke panggung.)

Sania                   : Hel? Astaga, kamu kenapa?! (Berlari menghampiri Rachel).

Rachel                 : (Tidak menggubris.)

Sania                   : (Menengadahkan kepala Rachel) Pipimu.. merah lagi. Seperti waktu itu..

Rachel                 : (Mengangguk).

Sania                   : Siapa yang tega melakukan ini ke kamu, Hel?

Rachel                 : (Melirik foto polaroid yang tergantung di tembok).

Sania                   : AZRAIL?! Kenapa dia tega melakukan ini ke kamu?! Sudah kuduga, ada yang nggak beres dari dia! (Berbicara dengan nada marah). Akan kubuat dia memar!

Rachel                 : (Menggelengkan kepala) Nggak perlu, San. Aku udah nggak mau berhubungan sama dia lagi. Begitu pula kamu, nggak perlu berhubungan lagi sama dia.

Sania                   : Tapi perasaanmu sekarang gimana, Hel?

Rachel                 : Seperti merasakan kebebasan.

Sania                   : Kebebasan?

Rachel                 : (Menganggukkan kepala) Iya, ternyata beberapa jam setelah aku mengatakan itu, aku seperti merasakan suatu kebebasan.

Sania                   : Sepertinya aku mengerti. Selama ini kamu hidup dalam ketakutan, ya?

Rachel                 : Iya. Maaf, ya, San.

Sania                   : Udah, nggak usah dipikirkan. Sekarang, kamu aman sama aku. (Memeluk Rachel).

Rachel                 : (Menerima pelukan Sania, menangis). (Melirik keatas meja) San, aku lupa.. dua hari lalu aku menerima sebuah boks kecil berwarna merah. Itu.. (Menunjuk kepada boks kecil merah).

Sania                   : Kamu belum membukanya? (Melepas pelukannya).

Rachel                 : Belum.

Sania                   : Buka, yuk?

Rachel                 : (Mengambil boks kecil merah tua dan membukanya).

Sania                   : Apa isinya?

Rachel                 : (Mata terbelalak) F-foto polaroid? (Mengambil sebuah kertas kecil yang dilipat) Dan... ini ada secarik kertas catatan.

Sania                   : Loh, itu kan kamu, Hel?

Rachel                 : (Terkejut) Hah, iya, kamu benar! Ini aku?! Bagaimana bisa?

Sania                   : Coba baca kertas itu.

Rachel                 : (Membaca dalam hati).

Sania                   : Bagaimana?

Rachel                 : Di dalam surat ini ia bilang, ia adalah aku di masa depan..

Sania                   : Apa? Maksudmu bagaimana? Tolong jelaskan ke aku.

Rachel                 : Iya, aku juga nggak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Tapi, wanita muda atau yang kupanggil Norah yang kutemui di hutan pada hari itu adalah aku di masa depan yang telah melewati sebuah masa sulit..

Sania                   : Masa sulit? Apakah maksudnya itu mengenai hubunganmu dengan Azrail?

Rachel                 : Ya, mungkin..

Sania                   : Astaga.

Rachel                 : San, yang waktu itu, benar aku ditampar oleh Azrail. Rona merah yang kamu bilang itu.. maaf aku merahasiakannya dari kamu. (Menunduk).

Sania                   : Nggak apa-apa. Sejak tadi kamu menangis, aku udah sadar dan ingat mengenai pembicaraan kita beberapa hari yang lalu.

Rachel                 : Itu yang mau kubicarakan.

Sania                   : Hel, anggap secarik kertas catatan tadi dan foto polaroid tadi merupakan sebuah kebetulan alam semesta. Biar kulihat lagi isinya (Membaca isi secarik kertas). Benar, dia berkata selamat kepadamu karena telah memberanikan diri untuk lepas dari masa-masa sulit itu.

Rachel                 : Apakah itu mungkin?

Sania                   : Kamu harus percaya.

Rachel                 : Ya.. ternyata banyak ya, alasanku untuk meninggalkan dia. Bahkan, alam semesta mendukungnya. Awalnya, aku nggak memiliki keberanian itu.

Sania                   : Dan lihat, sekarang kamu udah terbebas. Apa yang kamu takutkan untuk melepaskannya nggak terjadi, kan?

Rachel                 : Kamu benar, San. Akhirnya, aku bisa keluar dari hutan itu. Dari rasa takutku akan hubungan yang toxic itu. Terima kasih ya, udah menemaniku selama ini. (Memeluk Sania).

Sania                   : Iya, Hel. Kita punya satu sama lain. (Memeluk Rachel).

Rachel                 : Sekarang, aku kehilangan dia. Tapi, aku dapat menemukan diriku sendiri. Dan itu terasa benar-benar berarti bagiku.

(Lampu panggung meredup hingga mati. Rachel dan Sania kemudian pergi ke backstage. Drama berakhir.)


Oleh: Tazkia Asih Febrianty

205110201111010

Komentar

Postingan Populer