Eksplorasi Tiga Remaja
Hari itu, sebuah
suara yang cukup memekakkan indra pendengaran membuatku terbangun dari
singgasana pembaringan yang paling nyaman. Suara yang sangat familier, setiap
hari aku harus mendengarnya ketika akan dan ingin menghadapi dunia yang
sesungguhnya di luar mimpi-mimpiku selama semalaman. Suara tersebut bersumber
dari alarm ponselku yang sudah menemani selama kurang lebih empat tahun, dan
sudah sangat berjasa memberikanku jasa membangunkan dari peristirahatan lelapku
selama semalaman secara cuma-cuma. Sejujurnya, aku tidak tahu apakah aku dapat
membuka mata ketika di pagi buta jika tidak ada alarm ponselku. Jadi, terima
kasih alarm ponselku.
Setelah
mendengar sumber suara tersebut, aku menggeliat di atas kasur kemudian bergegas
membangunkan tubuh dan pergi kearah meja kecil untuk mematikan alarm yang masih
merengek itu. Rupanya, waktu pagi ini telah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Namun,
keadaan di dalam kamar indekosku masih gelap gulita. Kunyalakan lampu kamar,
tetapi setelah itu duduk kembali di atas kasur yang nampaknya menggodaku untuk
menyentuhnya lagi. Tanpa harus kujelaskan lebih lanjut secara detail, hampir
seluruh kalangan manusia di muka bumi ini mengetahui apa yang akan kulakukan
selanjutnya dengan ponsel yang aktif dan berdaya baterai penuh. Ya, awali hari
dengan mengecek recent updates teman-temanmu di sosial media. Tidak lupa
juga, aku melihat dari panel notifikasi ponsel bahwa melalui aplikasi Telegram,
Dosen pengampu mata kuliah Penulisan Kreatif kami–Padmo Sensei,
memberikan sedikit announcement kepada para mahasiswa untuk melakukan
sebuah “Quest”, yaitu melakukan perjalanan secara bersama-sama dengan
teman satu kelompok. Namun, perjalanan kali ini tidak diperkenankan menggunakan
kendaraan pribadi, melainkan berjalan dengan kedua kaki yang tampak masih
lengkap dan sehat ini. Karena berkat adanya perjalanan yang akan dilakukan di
hari Sabtu pagi, aku dapat melakukan kegiatan yang cukup menantang rasa
malasku, yaitu mandi di pagi hari ketika hari libur. Sungguh hal yang langka.
Setelah
bersiap–siap untuk keperluan perjalanan yang akan dilakukan nanti, aku mengecek
kembali barang-barang yang akan kubawa. Battery charger, payung, jas
hujan, air minum, dompet, ponsel, dan tak lupa minyak kayu putih, semua telah
lengkap masuk ke dalam tas jinjing hitam kesayanganku. Sabtu, 4 November 2023
pukul 07.45 WIB, aku bergegas pergi meninggalkan indekos menuju kampus, yang
merupakan titik kumpul kami untuk melakukan perjalanan pada pukul 08.00 WIB
nanti. Perjalanan dari indekos ke kampus sendiri memakan waktu sepuluh menit
dengan menaiki kendaraan sepeda motor, sehingga kira-kira sekitar lima menit
sebelum waktu berkumpul yang telah ditetapkan, aku sampai di tujuan dengan
selamat.
Terlihat
di titik kumpul kampus, suasana masih terasa dan terlihat sepi. Padahal, waktu
telah menunjukkan pukul 08.00 WIB, yang berarti banyak mahasiswa yang terlambat untuk
datang dan berkumpul. Namun, nampaknya dosen kami belum juga terlihat. Jadi,
aku menunggu cukup lama untuk menunggu teman-temanku yang lainnya. Untungnya,
udara dan cuaca pada pagi hari ini sangat damai sehingga dapat menambah mood-ku
dalam menunggu. Mengingat kala aku bangun pagi tadi, sebenarnya aku masih
merasa setengah mengantuk dan lelah imbas dari menonton film konser Taylor
Swift di bioskop semalam. Selama menunggu, aku berbincang kecil dengan beberapa
temanku yang telah tiba. Ajaibnya, dalam beberapa waktu kedepan teman-temanku
perlahan tiba di titik kumpul dan aku cukup terkejut, karena ternyata tidak
hanya kelasku saja yang bertitik kumpul dalam waktu yang sama ketika akan
melakukan perjalanan tersebut.
Dosen
pun tiba setelah sudah terlihat banyak mahasiswa yang berkumpul, walau kulihat
arlojiku, bahwa ini tidak sesuai dengan perintah awal bahwa kami akan berkumpul
di Teras Budaya (Tebu) pada pukul 08.00 WIB. Tapi kupikir tidak apa, mungkin
mereka mengalami pagi yang berat untuk melawan iblis di dalam tubuhnya yang
sedang meronta-ronta untuk kembali ke pelukan singgasana yang nyamannya
tersebut. Dan, tebakanku benar. Ketika dosen tiba, beliau langsung memberikan
titahnya untuk kami segera melakukan perjalanan tersebut. Tidak lupa tentunya
dengan beberapa wejangan-wejangan kecil yang sangat berarti. Namun rupanya
bukan hanya itu yang menjadi fokus pikiranku pada saat itu. Teman satu
kelompokku yang berjumlah total enam orang, tiga diantaranya hingga saat itu
belum juga menampakkan batang hidungnya. Untuk dua orang, sebenarnya telah
memberikan pernyataan sebelumnya bahwa mereka tidak dapat ikut untuk melakukan
perjalanan, namun satu orang lainnya belum memberikan pernyataan mengenai
keberadaannya. Kami pikir, ia mungkin telat untuk datang. Jadi, kami menunggu
disaat kelompok yang lain telah dahulu pergi.
Menunggu
dalam ketidakjelas dan ketidakpastian, adalah hal yang kami lakukan pagi itu.
Agar tidak bosan, kami berbincang mengenai beberapa hal yang tidak penting.
Tapi, hal yang tidak penting itu justru adalah kemurnian dalam pikiran kami
yang spontan. Salah satu temanku memulai topik mengenai “kemasan teh botol yang
berbentuk kotak”, ia berpikir, mengapa kemasannya harus berbentuk kotak
sedangkan ia sedang menyesap minuman yang memiliki embel-embel nama “teh botol”
yang berarti teh di dalam botol. Memikirkan hal tersebut, kami tenggelam dalam
gelak tawa bersama-sama. Tidak hanya itu, kami juga bergosip mengenai rumor
kelas daring yang akan dilaksanakan di beberapa fakultas di kampus kami. Dan
sayangnya, rumor mengenai fakultas kami–FIB, tidak daring 100% membuat kami
cukup kecewa. Pasalnya, hal itu ditentukan berdasarkan mata kuliah, waktu, dan
ruangan yang akan digunakan oleh event yang akan dilaksanakan nanti,
yaitu MTQMN UB Ke-17.
Waktu
tak terasa telah berlalu lima belas menit sejak perginya teman-teman dari
kelompok lain untuk petualangan kecil yang mereka lakukan. Namun, teman satu
kelompok kami yang kami tunggu sedari tadi tidak kunjung tiba dan tidak juga
menjawab pesan dari kami. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk melakukan
perjalanan dengan bertiga saja, karena di titik kumpul, hanya kelompok kami
yang belum beranjak pergi dari titik kumpul awal. Sejujurnya, kami juga belum
menentukan secara tetap sejak awal mengenai tujuan dari petualangan kecil kami
kali ini, namun ketika sudah dikejar waktu pada hari tersebut, kami langsung
mendapatkan ide yang cukup cemerlang untuk tujuan perjalanan tersebut. Ya, kami
akan berjalan kaki dari titik kumpul di kampus menuju Jalan Soekarno-Hatta,
Malang, Jawa Timur. Kupikir, tujuan itu merupakan tujuan yang anti-mainstream.
Alicia, Natalia, Tazkia. Tiga nama dari mahasiswi yang kali ini akan mewakili kelompok dua dari kelas Penulisan Kreatif B untuk melakukan perjalanan kecil. Selama perjalanan yang mana masih berada di area kampus, kami melihat bagaimana Lapangan Rektorat Universitas Brawijaya sedang berada di fase hectic dalam rangka menyiapkan panggung untuk pembukaan event MTQMN UB Ke-17 nanti malam. Tidak hanya itu, kami juga melihat di sisi depan sepanjang jalan FEB dan FTP, terdapat banyak sekali booth stand bazar makanan, minuman, maupun aksesoris. Tentu pada saat itu, kami melihat dengan antusias ketika melewatinya, karena terdapat banyak makanan dan minuman yang akan dijual meskipun belum beroperasi dan masih tahap bersiap-siap. Salah satu temanku, Natalia, berceletuk ketika melihat dari jauh satu jenis minuman yang termuat dalam etalase daftar menu booth stand bazar tersebut.
“Wah, ada mojito!”
“Mojito itu apa, Ta?” Aku yang tidak
mengetahuinya langsung bertanya kepada Natalia.
“Sebenernya sama saja dengan minuman segar lainnya,
namun, mojito menggunakan alkohol di dalam campuran komposisinya. Tapi
biasanya jika dijual bebas seperti ini, alkohol tersebut diganti dengan soda.”
Aku hanya mengangguk mendengar jawaban temanku.
Pasalnya, ketika melihat gambar di etalase tersebut, aku tertarik untuk
mencobanya karena terlihat menyegarkan. Ya, mungkin lain kali. Apalagi, kami
masih harus melakukan perjalanan kecil dan booth stand bazar tersebut
sedang dalam fase bersiap-siap.
Langkah demi langkah telah kami lewati dan hingga akhirnya tiba di ujung gerbang kampus kami via Jalan Soekarno-Hatta. Suasana pada Sabtu pagi hari itu cukup ramai. Namun, kami tidak terlalu khawatir, karena disini terdapat traffic light dan zebra cross. Sehingga, kami dapat dengan aman untuk menyeberang jalan. Satu hal yang akan paling kami perhatikan pertama kali ketika ingin pergi ke Jalan Soekarno-Hatta pasti adalah melewati jembatan besar yang akrab disebut oleh masyarakat dengan sebutan “Jembatan Soekarno-Hatta”. Sejujurnya, aku cukup takut jika harus melewati jembatan ini dengan berjalan kaki. Pasalnya, sejauh mata memandang kebawah, hanya ketinggian yang sangat tinggi yang dapat aku lihat. Objek yang terdapat di bawah adalah sungai dan tanaman-tanaman liar. Tidak hanya itu, angin di jembatan ini juga cukup kencang, padahal suasana pagi hari itu cerah. Dan juga, trotoar tempat untuk berjalan kaki disini tidak terlalu lebar sehingga kami harus berpisah menjadi satu barisan kebelakang dengan Aku di paling depan, Natalia di tengah, dan Alicia di paling belakang. Selama melewati jembatan tersebut, tidak satupun dari kami berbicara. Aku yang dahulu terhitung lumayan sering melewati jembatan ini, sepertinya mengetahui jawabannya. Rupanya, setelah selesai melewati, salah satu temanku berceletuk hal yang sama seperti ketika aku melewati jembatan ini. Ya, kami cukup ketakutan untuk melewati jembatan ini hingga tidak mengeluarkan sepatah katapun hingga sampai di ujung jembatan.
Destinasi
pertama kami adalah Indomaret. Tentu, kami memilih untuk melakukan
pemberhentian tersebut karena kedua temanku ingin melepas dahaga dengan membeli
minuman segar sambil beristirahat sebentar di kursi dan meja yang disediakan di
tempat itu. Namun sayangnya, semua meja dan kursi disitu telah terisi semua dan
tidak ada yang kosong. Jadi setelah membeli, kami melanjutkan perjalanan di
Jalan Soekarno-Hatta. Berjalan di trotoar dengan santai sambil berbincang
adalah hal yang mengasyikkan bagi kami. Walaupun di jalan tersebut terlihat ramai
dan kendaraan berlalu lalang dengan sangat kencang, kami tidak kehilangan
fokus. Justru sebaliknya, kami menangkap objek tempat di seberang kami, yaitu
Polinema atau Politeknik Negeri Malang. Polinema merupakan sebuah kampus
berwarna biru yang bertetangga dengan kampusku. Untungnya, di seberang jalan
Polinema terdapat Alfamart yang memiliki meja dan kursi juga, sama seperti di
Indomaret yang sebelumnya kami datangi. Saat itu suasana meja dan kursi di sini
cukup sepi, hanya diisi oleh sepasang kekasih. Jadi, kami memutuskan untuk
singgah saja, tanpa memasuki minimarket untuk membeli produk. Ketika baru saja
duduk, kami tiba-tiba saja disambut oleh pemandangan yang memprihatinkan. Ada
seorang pria tua dengan sebuah tongkat menghampiri kami.
“Tolong, tolong, aku buta. Mbak atau Mas,
aku buta, bantu sukarela juga gapapa, siapapun,”
Pria tua tersebut kemudian berkata dengan mengarah kepada
kami, sedikit berteriak. Namun, kami tidak menggubrisnya dan hanya diam saja.
Mungkin itu adalah penyebab dia berteriak dan berbicara berulang kali.
Sejujurnya, saat itu, kami sangat risih dan merasa terganggu. Tapi entah kenapa
tubuh dan kaki kita tidak mau bergerak untuk segera meninggalkan tempat itu.
Setelah beberapa menit pria tua itu berbicara sendiri, akhirnya Natalia
memberanikan diri untuk menghampiri untuk memberikan sedikit bantuan berupa uang.
Dari kejauhan, terlihatlah beberapa gerak-gerik yang dilakukan Natalia kepada
pria itu. Ketika telah kembali lagi kepada kami, kami bertanya apa yang pria
tua tersebut bicarakan. Natalia berkata, ternyata pria tua itu meminta tolong
untuk dihitungkan berapa jumlah uang yang ia miliki untuk membeli beras.
Bukannya aku dan Alicia tidak ingin menggubris pria tua tersebut. Namun, aku
agak skeptis dengan gerak-gerik pria tua tersebut ketika meminta tolong. Ada
saat dimana aku memperhatikan di saat pria tua tersebut sedang meminta tolong
kepada orang lain, ia seperti mengetahui ketika ada orang lewat di depannya,
atau mengetahui apa jenis kelamin orang yang sedang lewat di depannya,
dibuktikan dengan panggilan “Mas/Mbak”. Entah itu kebetulan saja atau tidak.
Ditambah, sebelum kami datang, sudah ada sepasang kekasih yang duduk di meja
dan kursi, dan pria tua tersebut hanya duduk di tangga Alfamart. Namun, ketika
kami datang, pria tua itu langsung hanya menghampiri kita. Dan juga, aku
sendiri memiliki beberapa pengalaman yang cukup buruk dengan pengemis di
Malang. Pernah suatu ketika, aku tidak memberikan uang, dan ia langsung
menggerutu di belakangku. Hal tersebut tidak hanya terjadi sekali. Oleh karena
itu, aku menjadi skeptis dengan pengemis di kota ini.
Semakin lama hanya perasaan kurang nyaman yang kami rasakan. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk berpindah tempat lagi, tidak ingin berlama-lama di Alfamart tersebut. Rencana tujuan kami selanjutnya yaitu ingin singgah di salah satu sebuah kedai es krim terkenal yang ada di Jalan Soekarno-Hatta. Alasan kami ingin singgah karena salah satu dari anggota kelompokku juga sedang mengalami siklus bulanan perempuan. Sebelum pergi kesana, aku mengecek pukul berapa kedai tersebut memulai penjualannya. Ternyata, kedai tersebut masih tutup dan akan buka pukul 10.00. Masih tersisa waktu tiga puluh menit lagi. Tidak apa, kami tetap pergi saat itu juga dan berjalan menyusuri trotoar selama beberapa menit, dan tibalah kami di depan kedai es krim tersebut. Namun, kami tetap lurus terus melanjutkan perjalanan ke Indomaret Fresh yang searah lebih jauh daripada kedai es krim tersebut.
Di
Indomaret Fresh, kami tidak membeli apapun. Ya, kami hanya memanfaatkan
dinginnya minimarket tersebut untuk menyegarkan sedikit tubuh kami yang sedari
tadi berkeringat karena berjalan cukup jauh. Suasana disini tidak begitu ramai.
Namun, produk-produk yang disediakan sangat beragam dan cukup lengkap, berbeda
dengan minimarket biasa lainnya. Disini, terdapat makanan cepat saji, sayuran,
dan buah-buahan. Hal itu yang menjadi berbeda dari biasanya. Setelah
melihat-lihat beberapa produk, aku menjadi tertarik untuk membelinya. Karena
bagiku, ada beberapa produk yang aku tidak dapat temukan di minimarket biasa
namun aku dapat menemukannya disini. Produk tersebut antara lain seperti
minuman cokelat, buah-buahan, sereal, dan lain-lain. Cukup lama kami singgah di
minimarket ini, cukup banyak topik pembicaraan yang kami bicarakan dengan
senyum dan tawa yang sangat lepas. Terkadang, hal-hal sederhana seperti
membicarakan nama produk yang menurut kami sangat lucu, kami sudah dapat
tertawa. Satu hal yang kuingat ketika membicarakan sebuah produk minuman teh.
Tertulis di kemasan, merek produk tersebut dengan menggunakan Bahasa Inggris.
Namun, ketika kami baca dengan cepat, tulisan nama produk itu akan berubah
menjadi “amati”. Ditambah, di bawah merek produk tersebut terdapat embel-embel
tulisan “London”. Entah mengapa, kami tertawa terbahak-bahak. Tapi, kami hanya
menganggap itu lucu saja, bukan bermaksud mengejek produk tersebut.
Tiga puluh menit telah berlalu, dengan lewat sedikit. Wajah kami tampak gembira. Lantas, apa jika bukan karena kedai es krim yang sudah buka itu? Ya, aku langsung memberitahukan kepada temanku yang lainnya bahwa kita harus segera meninggalkan minimarket ini untuk pergi ke kedai es krim tersebut. Teman-temanku yang lain menyetujuinya, dan kami langsung meninggalkan minimarket. Di tengah perjalanan, seperti biasa kami berbincang kecil membicarakan beberapa topik obrolan, salah satunya seperti menu di kedai es krim tersebut. Aku bertanya kepada temanku yang lain, hendak memesan apa mereka setiba nanti disana. Sedangkan aku sendiri, masih sedikit ragu dengan menu yang akan kupesan nanti. Waktu terus berlalu, begitu pula dengan jarak yang sudah kami lalui untuk ke tujuan selanjutnya. Setibanya di kedai es krim, kami langsung masuk ke toko dan pergi ke kasir untuk memesan. Kami semua memesan pesanan yang berbeda. Alicia memesan minuman yang menggunakan es krim, Natalia memesan es krim vanilla cone, sedangkan aku memesan vanilla sundae. Ya, aku terbiasa untuk memesan es krim tanpa menggunakan rasa. Menurutku, jika sebuah es krim itu dicampurkan dengan rasa selain vanilla, akan menghasilkan rasa yang kurang enak. Setelah menyerahkan uang-uang kami kepada pegawai di kasir tersebut untuk dibayar dan kami mendapatkan masing-masing pesanan, kami pergi ke lantai dua untuk menikmatinya sembari duduk di tempat yang telah disediakan. Disini kami membicarakan beberapa hal yang sekiranya penting hingga tidak penting sekalipun. Namun kali ini, lebih terasa santai dan nyaman karena ditemani oleh segelas es krim dan didukung dengan suasana yang cukup sunyi dan tenang.
Komentar
Posting Komentar