Deceit


Dramatic Personae:

Ariel                :

Seorang wanita muda berusia pertengahan 20 tahunan. Mukanya dirias natural dengan rambut cokelat agak wavy panjang kurang lebih sedada. Mengenakan summer dress warna putih dengan jaket jeans, serta mencangklong tote bag yang berisi dompet, ponsel, dan keperluan wanita (seperti lipstick, bedak). Diantara empat sekawan, dia yang paling muda. Orangnya pendiam dan segan dengan orang lain. Di akhir-akhir dia mengenakan baju pasien rumah sakit.

Michael           :

Seorang laki-laki muda berusia akhir 20 tahunan. Gayanya formal dengan kemeja putih, vest abu-abu dan celana hitam kantoran. Rambutnya berwarna hitam dan ditata rapi. Menggunakan kacamata dan arloji mahal. Diantara empat sekawan, dia yang paling tua dan paling tajir. Self-proclaimed leader of the group. Orangnya angkuh dan ingin selalu menjadi yang pertama atau nomor satu. Agak kasar ketika berbicara. Di bagian latar terakhir, dia mengenakan kemeja putih, sweater berwarna biru muda, dan celana berwarna krem.

Raphael          :

Seorang laki-laki muda berusia pertengahan 20 tahunan. Menggunakan hoodie hitam dan celana olahraga warna abu-abu. Rambutnya berwarna hitam dan menggunakan kacamata. Diantara empat sekawan, dia yang paling pendiam. Orang yang sangat kritis tetapi jarang mengungkapkan apa yang dalam pikirannya. Fokus memperhatikan ponselnya sendiri tetapi sebenarnya menyimak pembicaraan teman-temannya. Di bagian latar terakhir, dia mengenakan kaos putih dilengkapi dengan jaket hitam, dia juga menggunakan celana olahraga abu-abu yang sama.

Gabriel           :

Seorang wanita muda berusia pertengahan 20 tahunan. Menggunakan baju bermerek. Rambutnya disemir warna cokelat kemerahan. Riasan mukanya lebih tebal dari Ariel tetapi tidak berlebihan. Diantara empat sekawan, dia yang paling cerewet tetapi baik hati. Tetapi dia seperti kesulitan untuk jujur.

Leonard         :

Suami dari Ariel. Berperilaku seperti pria idaman semua wanita. Suka memasak. Menggunakan turtleneck hitam dan celana panjang jeans.

Lily                 :

Anak perempuan Ariel. Kurang lebih masih berusia 3 tahunan. Masih manja dan membawa boneka kelinci kemana-mana. Menggunakan dress berwarna pink.

 

Ada empat sekawan yang baru saja pulang dari liburan dan memutuskan untuk saling bertemu. Empat sekawan itu adalah Raphael, Michael, Gabriel, dan Ariel. Mereka memutuskan untuk bertemu di suatu Kafe bernama Kafe Eden. Panggung diisi cahaya berwarna kekuningan, nuansa sore hari. Musik di kafe menampilkan lagu Korea yang upbeat. Terdapat dua pasang meja masing-masing berisi empat kursi di tiap sisinya. Di masing-masing meja terdapat nomor meja (nomor 3 di meja pemain dan nomor 4 di meja sebelahnya). Di meja yang digunakan para pemain terdapat dua cangkir kopi dan dua cangkir teh. Bagian Ariel berisi satu cangkir teh dan roti sandwich. Bagian Gabriel berisi satu cangkir kopi dan roti croissant. Bagian Raphael berisi satu cangkir teh dan cookies. Dan bagian Michael hanya berisi satu cangkir kopi. Pada momen ini hanya Gabriel dan Raphael yang sudah datang dan duduk.

Gabriel            : (Sedang mengaduk-aduk kopi yang akan dia minum sambil sesekali memperhatikan Raphael yang duduk di hadapannya.) Hei, Raph. ‘Dah lama tidak berjumpa, ya. Kamu glowup gila sih dibandingkan ketika masih kuliahan. Sudah lama ya kita berkumpul bersama di Kafe Eden? Gak kangen sama yang lain, nih?

Raphael           : (Mengangkat bahunya sambil masih fokus memperhatikan ponselnya.) ‘Ntahlah.

Gabriel            : (Tidak terkesan dengan gestur Raphael.) Hahh, memang, ya. Kamu enggak berubah sekalipun. Padahal sudah lebih dari empat tahun kita tidak bertemu, loh. (Menatap tajam Raphael.)

Raphael           : Memang. (Berhenti sejenak untuk meminum tehnya.) Bahkan kafe ini saja masih sama seperti sedia kala. Pemiliknya masih si pria tua penuh kerutan dengan muka yang selalu tersenyum ramah. Minuman dan makanannya masih seperti saat sedia kala. In my opinion, sesuatu yang tidak berubah adalah hal yang baik, though.

Gabriel           : Well, itulah cara untuk membuatmu berbicara. Tapi aku tidak sepenuhnya setuju dengan opinimu, sih.

Raphael           : Tidak ada yang memintamu untuk setuju, lagian. (Mengetik di ponselnya karena membalas pesan.)

Gabriel            : Hmm? Yang lain sudah pada merespon di group chat, kah? (Ikut mengeluarkan ponselnya.) Oh, Ariel sudah dekat dan Michael masih terjebak macet, ya? (memikirkan balasan untuk chat dan mengetikkan balasan.)

Raphael           : (Tidak merespon.)

Suasana hening selama kurang lebih 10 detik hingga akhirnya Ariel datang. Lampu menyorot pada Ariel yang baru datang.

Ariel                : (Celingukan mencari tempat duduk teman-temannya.) Kira-kira dimana mereka? Apa masih di tempat duduk yang dulu sering kita pakai? Kalau saja Leonard dan Lily tadi tidak bersikeras melarang aku untuk pergi aku tidak akan telat, sih…

Gabriel            : (Melambai-lambaikan tangan dan kemudian segera berlari pelan menghampiri Ariel.) Aduhh, lama gak jumpa ya, Ariel? (Memegang tangannya dan menariknya menuju meja mereka.) Tahu gak tadi Raphael yang sampai pertama dan udah langsung memesankan makanan ama minuman favorit kita? Nih, udah ada teh melati favoritmu dengan sandwich specialty Pak Castiel.

Sebelum Gabriel dapat meminta Ariel untuk duduk di sebelahnya, Raphael terlihat sudah menepukkan kursi kosong di sebelahnya untuk diduduki Ariel. Raut wajah Gabriel terlihat kesal, tetapi langsung kembali ke senyuman default-nya dalam sepersekian detik. Hal ini disadari oleh Raphael.

Ariel                : (Duduk di kursi di sebelah Raphael.) Oh, thank you. Akan kuganti uangnya. (Buru-buru mengeluarkan dompet dari tote bag yang dia cangklong.) Berapa, Raph?

Raphael           : (Kembali menatap ponsel tetapi aslinya kepikiran akan kejanggalan Gabriel tadi.) Hm? Tidak perlu diganti juga gak apa-apa. (Menatap Gabriel) Kamu gak duduk lagi?

Gabriel            : (Tersenyum,) Ah, iya. (Duduk di kursi.) Bagaimana kabarmu, Ariel? Diantara yang lain kamu yang paling jarang mengontak kita, loh.

Ariel                : (Menatap ke atas untuk berpikir jawaban yang tepat.) Kabarku baik saja, kok. Karir menulisku juga berjalan dengan baik bahkan novel terakhirku menjadi novel best-seller tahun lalu. (Jeda.) Tapi.. apa maksudmu aku jarang mengontak kalian? Aku sering tahu menghubungi kalian tapi kalian tidak pernah membalasnya. Membaca pesanku saja tidak. Aku bahkan mengira kalian sudah tidak mau berteman denganku dan memilih untuk mengganti nomor dan akun sosial media kalian.

Gabriel            : Huh, masa sih? (Buru-buru membuka ponselnya untuk mencari-cari pesan dari Ariel.)

Ariel                : Ngapain juga aku berbohong. Gak ada untungnya juga.

Gabriel            : Aku gak menemukan pesan apapun, sih. Tapi nggak apa-apa. Mulai sekarang kita harus banyak ngobrol lagi kayak dulu!

Ariel                : Kalau Gabriel, gimana kabarnya? Aku dengar kamu habis jalan-jalan ke Eropa, ya? Di sosial media kamu sering posting fotomu liburanmu keliling dunia. (Menatap Gabriel dengan antusias dan menggigit sandwich-nya.)

Gabriel            : Heh, thanks for asking. (Muka terlihat bangga.) Kabarku baik, kelewat baik malahan. Aku akhirnya dapat liburan dan mengelili dunia. Sejauh ini aku sudah mengunjungi sepuluh negara Eropa. Apa aja, ya? (Sambil menghitung dengan jari.) Belanda, Jerman, Polandia, Prancis, Italia, Inggris, Belgia, Swiss, Amerika Serikat, dan Jepang. Gitu, deh. Kayaknya kalau kuceritain satu per satu gak bakal selesai dalam satu hari.

Raphael           : Tapi Amerika Serikat dan Jepang bukan Eropa?

Gabriel            : Memang, bukan. Aku satuin aja soalnya kan tetap bisa dikategorikan sebagai liburan keliling dunia.

Ariel                : Keren, sih. Enggak berniat melanjutkan ke negara Asia lain, ataupun Amerika Tengah dan Afrika? Keliling dunia tidak hanya berpatok ke negara-negara barat kan, lagian?

Gabriel            : Enggak dulu, deh. Muak juga merasakan jetlag.

Ariel                : Sure.. (Memakan sandwich-nya lagi.)

Raphael           : Michael sudah dekat. Jemput si tuan besar di depan kafe gih, Gab. (Masih memperhatikan ponselnya.)

Gabriel            : Aku lagi, aku lagi. (Berdiri.) Tapi nggak apa-apa, sih. Aku gak keberatan. (Keluar panggung.)

Suasana hening untuk 10 detik.

Raphael           : Dia berbohong. (Berhenti melihat ponsel.)

Ariel                : Siapa?

Raphael           : Siapa lagi? Dia sering memamerkan ketajirannya padahal bukan uangnya sendiri. Aku mungkin tidak menyukai arogansi Michael, tapi setidaknya dia benar-benar orang yang legit berusaha sendiri.

Ariel                : Bagaimana denganmu?

Raphael           : Maksud?

Ariel                : Kamu melakukan apa selama tiga tahunan ini? Kamu orang yang sangat tertutup, aku tidak tahu apa-apa tentangmu.

Raphael           : Bukannya kamu juga demikian? Hal yang kulakukan tiga tahunan ini tidak penting. (Berhenti sejenak dan membisikkan ke telinga Ariel.) Kamu harus sadar atas kesemuan ini. Aku akan menjelaskannya nanti.

Ariel                : (Mengangguk.)

Lampu panggung menyorot Gabriel yang datang dengan Michael. Mereka berjalan perlahan menuju meja para pemain.

Gabriel            : Haii, guys. Liatlah our leader sudah datang. (Mempersilakan untuk duduk di kursi sebelah tempat duduknya.)

Michael           : Gak perlu dijabarkan kayak gitu. Berasa disindir. (Duduk dan langsung meneguk kopi yang dihidangkan.) Siapa yang pesan kopinya, dah? Bukan style-ku untuk berhutang kepada orang. (Meletakkan uang di atas meja.)

Raphael           : Gausah diganti nggak apa-apa.

Michael           : Oh, please. Kamu suka sekali ya jadi si paling dermawan. 

Raphael           : Bukan maksudku begitu. Aku memang hidup lebih pas-pasan apabila dibandingkan dengan kalian, tapi bukan berarti aku gak bisa membayar jajanan kalian di sini.

Gabriel            : Jangan bertengkar begini dong. (Berusaha melerai.) Next time kita hangout, kita gentian aja yang mentraktir? Bagaimana? (Membuat penawaran sambil menempelkan kedua tangannya.)

Ariel                : Aku setuju dengan saran Gabriel, sih. Kayaknya bagus gitu daripada bingung harus mikir-mikirin duit dibagi empat. Berasa kayak masih waktu kuliah saja.

Michael           : (Menghela nafas.) Fine. (Menatap sinis Raphael.)

Ariel                : Kenapa ya kita masih menjadi satu sirkel ketika kalian tidak akur seperti ini? Aku mau pulang saja kalau ke sini ujung-ujungnya hanya untuk kalian bertengkar.

Raphael           : Maaf.

Michael           : Aku mau minta maaf juga. (Mengulurkan tangannya ke depan Raphael.)

Raphael           : (Mengulurkan juga tetapi terasa tidak tulus.)

Gabriel            : Nah, gini dong daritadi. (Jeda.) Mumpung anggota kita akhirnya sudah lengkap, ayo kita saling sharing pengalaman kita dong. Mulai dari Michael yang baru datang, deh.

Michael           : Apa yang harus kuceritain, toh? Kehidupan korporatku lancar, kelewat lancar. Usiaku belum menyentuh 30 tahun, tetapi sudah menjadi bos besar. Bisnis FnB-ku bahkan sekarang sudah buka cabang di banyak kota di Indonesia. Punya banyak uang itu enak, berasa jadi penuh kekuasaan. Mau beli ini, mau beli itu, sudah gak pusing. Kerja kerasku dari kecil sampai sekarang benar-benar terbayarkan. Baru aja bulan lalu aku pulang dari Raja Ampat, pergi dengan sugar baby-ku ke sana.

Ariel                : Sugar baby? Kamu tidak terpikir untuk mencari pasangan yang benar-benar mencintaimu saja? (Terkejut dan sedikit jijik.)

Michael           : Aku dulu pernah bilang kan kalau aku itu non-committal person? Kalau aku terikat dengan pernikahan dan perkawinan yang sakral, memangnya aku bisa memberikan teladan apa kepada anak-anakku kelak? Aku masih mau bebas bermain dengan wanita tanpa harus mendengarkan celotehan wanita lain, cukup ibu saja yang harus menceramahiku. Jangan kamu juga dong, Ariel. Aku masih muda dan masih bebas. Jangan jadi si paling suci dan paling benar di sini!

Ariel                : Aku hanya bilang satu kalimat dan kamu perlu membalas sampai satu paragraf hanya untuk menjustifikasi perbuatanmu.. (Hanya bisa melihat ke bawah.)

Gabriel            : Kamu keterlaluan deh, Michael.

Raphael           : (Menatap Michael dengan tatapan tidak suka.) Gabriel (Jeda.) Giliranmu untuk sharing. Aku sudah cukup mendengar omong kosong dari mulut Michael.

Michael           : Kukira ini bakal jadi reuni yang menyenangkan, malah berakhir jadi reuni sampah yang penuh kedengkian.

Gabriel            : STOP! Gak usah diperpanjang! Giliranku buat cerita-cerita sekarang. (Melihat yang lainnya terlebih dahulu sebelum memulai.) Ehem.. mulai dari mana ya? Ah ya, aku dapat warisan dari kakekku, sih. Karena kakak-kakakku yang dapat bagian di perusahaan kakek, aku akhirnya memutuskan buat jalan-jalan ke luar negeri . Lumayan juga untuk menjadi pelarian. Aku bahkan ketemu my current boyfriend karena liburan ini haha.. Namanya Jeremy. Dia orang asal Inggris.

Michael           : Sudah menyerah sama crush-mu? Bukannya crush-mu masih hidup dan bahkan sampai sekarang masih tidak punya hubungan spesial dengan orang lain?

Gabriel            : Poin yang bagus, sih. Tetapi tidak akan pernah terbalaskan, mah. Aku sudah pernah menyatakan perasaanku kepadanya di masa lalu. Dia malah kabur dan terkena kecelakaan akibat itu.

Ariel                : Siapa memangnya?

Gabriel            : Ada.. deh. Aku tidak mau kasih tahu.

Raphael           : Cuma Michael yang tahu?

Michael           : (Mengangguk dan menyeruput kopinya lagi.)

Ariel                : Oh.. (Kecewa karena tidak tahu.)

Michael           : Ignorance is bliss, Ariel. Kadang kamu gak harus tahu segalanya. Dan ketidaktahuanmu itu menyelamatkanmu.

Raphael           : Michael has a good point.

Gabriel            : Yaudah, aku lanjut deh. Awal pertemuan kami adalah ketika aku di Inggris, hampa karena penolakan dari crush-ku dan juga tekanan batin dari keluargaku, mungkin juga karena fear of missing out saja melihat orang-orang seusiaku pada liburan semua. Dia punya kafe kecil di sana, tapi homey banget. I really enjoyed his company.

Ariel                : Baguslah in the end, things worked for you. (Tersenyum.)

Gabriel            : Heh, nanti aku cerita panjang lebar di chat denganmu aja ya, Ariel? Aku mau dengar cerita dari Raphael.

Raphael           : Tidak perlu, ah. Gak menarik.

Gabriel            : Why not?

Raphael           : Gak ada yang asik buat dibicarain kalau sesuai dengan standar keasikan kalian.

Ariel                : Tapi punya seseorang yang tidak keberatan untuk mendengarkan itu hal yang bagus, bukan? Cerita saja jika kamu mau.

Raphael           : Nggak. Beneran nggak ada yang bisa diceritakan.

Michael           : Yaudah, dengerin Ariel saja lah. ‘Kan bintang utama reuni ini adalah Ariel.

Ariel                : Kalian bilang aku bintang utamanya padahal kalian tidak pernah mengontakku selama tiga tahun ini. (Jeda.) Aku menjadi penulis, pekerjaan selalu aku impikan. Novelku yang terbit tahun lalu, judulnya “Mutiara Yang Rindu Akan Kerangnya” memperoleh best-seller. It feels so unreal that I’m afraid it is just a dream. Selain itu aku akhirnya juga sudah menikah dan bahkan punya anak. Kalian tidak mungkin lupa, ‘kan? Kalian kan menghadiri pernikahanku dengan suamiku.

Tiga orang yang lain tampak terkejut dan suasananya menjadi hening. Mereka fokus memperhatikan Ariel dengan raut muka yang serius.

Raphael           : Apa maksudmu? (Bingung.)

Michael           : Wow, aku bahkan baru tahu kamu sudah menikah. Aku gak yakin datang ke pernikahanmu, dah. (Terkejut.)

Gabriel            : Aku tidak punya memori pergi ke pernikahanmu? (Frustrasi.) Kamu menyembunyikan pernikahanmu dari kita? Undangan saja aku tidak dapat.

Ariel                : Aku tidak berbohong! Aku punya buktinya, kok! (Segera membuka galeri di ponsel dan mencari-cari foto yang dia simpan tentang hari berbahagia itu.) Aneh.. Aku ingat sekali ada fotoku bersama Leonard dan kalian bertiga. Lantas kenapa foto-foto ini hanya sisa kami berdua saja?

Raphael           : (Menoleh untuk melihat ke dalam ponsel Ariel juga.) Kamu menikah dengan siapa? Aku bahkan tidak melihat siapapun selain kamu dengan baju pengantin.

Gabriel            : Aku juga mau lihat, dong. (Berjalan ke sebelah Ariel dan melihat ponsel Ariel juga.)

Michael           : Gimana hasil fotonya?

Gabriel            : Raph was right. Dia foto seorang diri dengan baju pengantin.

Ariel                : Sebentar-sebentar. Aku akan tunjukkin foto buah hatiku saja, deh. (Kembali mengotak-atik ponselnya untuk menemukan fotonya bersama anaknya.) Kenapa foto-foto ini hanya ada aku seorang diri? Aku ingat betul ini adalah foto ketika aku membelikan Lily baju yang dia inginkan.

Michael           : Jadi hidupmu benar-benar penuh kebohongan, ya?

Ariel                : Tidak… tidak… tidak mungkin… (Masih mencari foto yang bisa membuktikan bahwa ini adalah realita.) Aku tidak halusinasi atau apapun. Aku benar-benar sudah punya keluarga yang saling mencintai, pekerjaan impianku… Bahkan sekarang bisa bertemu lagi dengan kalian..

Gabriel            : Ariel, kalau tidak keberatan aku bisa membawamu ke dokter langgananku… Dia pasti bisa menyembuhkanmu.

Raphael           : Ariel. Ingat kata-kataku tadi.

Lampu pencahayaan kafe menjadi redup, musik lagu Korea yang menghibur panggung hilang, dan di saat itu muncul sosok Lily dan Leonard masuk ke panggung. Lily membawa boneka kelinci.

Lily                  : Mama? Lily kangen sama mama. Hari ini mama tidak menemani Lily untuk bermain di rumah.

Ariel                : Lily? (Menoleh ke arah Lily.) Kemari, sayang.. (Berlari menghampiri Lily dan memeluknya.)

Leonard           : Sudah selesai, kah? Aku tadi kan sudah bilang untuk tidak usah menemui mereka. (Ikut memeluk Ariel.) Ayo kita pulang sekarang. Aku tadi sudah menyiapkan makan malam, loh. Ada sayur bayam bening dengan tempe dan ikan tongkol favoritmu.

Gabriel             : Ariel, tunggu. (Berlari menghampiri Ariel tetapi Ariel tidak mendengarkan.)

Ariel tidak mendengarkan. Ariel, Lily, dan Leonard pergi meninggalkan panggung.

Michael           : Sudahlah, Gab. Dia berasa banget kayak orang sakit gak sih? Lihat saja dia berlari sambil menyebut-nyebut nama anak khayalannya. Padahal tidak ada orang di sana.

Raphael           : Aku belum sempat mengatakannya.

Michael           : Hm?

Raphael           : Bukan apa-apa.

Gabriel            : Kita tidak mengejarnya? Siapa tahu kita masih bisa menolongnya.

Michael           : Repot, ah. Tidak mau.

Raphael           : Belum waktu yang tepat, Gabriel.

Panggung ditutup untuk berganti ke latar kedua. Yaitu ruang makan keluarga Ariel. Terdapat meja makan dengan 3 kursi (bisa menggunakan kursi dan meja yang sama dengan kafe). Terdapat tudung plastik makanan di tengah meja menandakan makanan yang sudah disiapkan. Piring makan sudah ditumpuk di atas meja makan beserta dengan 3 gelas. Terdapat jam dinding di sana. Jam dinding ini mati. Tetapi jam dinding ini mempunyai suara seperti monitor jantung.

Ketiga orang yang pulang (Ariel, Leonard, dan Lily) duduk di masing-masing kursi. Leonard

Leonard           : Langsung saja kita makan, yuk? Jangan lupa untuk berdoa dulu, ya!

Mereka bertiga berdoa terlebih dahulu dalam hati.

Lily                  : (Membuka tudung makanan untuk mengambil makanan dan langsung makan.)

Leonard           : (Mengambil makanan setelah Lily dan juga mulai makan.)

Ariel                : (Diam saja seperti sedang tidak fokus.)

Leonard           : Ada apa, sayang? Tidak biasanya kamu seperti ini. (Memegang tangan Ariel.)

Ariel                : Ah, gak kenapa-napa kok.

Lily                  : Makanlah, ma. Nanti sakit, loh. Kalau sakit nanti yang ngerawat Lily siapa? ‘Kan gak mungkin cuma papa seorang.

Ariel                : Hehe, iya.. (Akhirnya ikut mengambil makanan dari balik tudung.)

Leonard           : Reuninya bikin kamu bingung? ‘Kan sudah aku bilang kamu tidak usah datang ke reuninya. Terkadang teman lama biarkan saja tetap sebagai teman lama.

Ariel                : Aku tahu itu, Leon. Tapi aku rindu sekali untuk bercakap-cakap seperti sedia kala? Tidak ada yang salah dari bertemu teman lama, ‘kan?

Leonard           : Tapi mereka juga yang akan menghancurkan kita.

Ariel                : Hm? Apa maksudmu? Bagaimana mungkin reuni seperti ini akan menghancurkan hubungan yang sudah kita lakukan selama tiga tahun?

Leonard           : Kita tunggu Lily selesai makan dulu.

Para pemain menunggu sekitar 15 detik hingga Lily selesai makan.

Leonard           : Lily? Kamu sudah selesai makan? Kamu bisa langsung ke ruang keluarga untuk menonton TV. Jam segini kan jam acara kartun favoritmu dimulai.

Lily                  : Hehe, iya. Makasih ya pa sudah dimasakin! (Langsung berlari ke luar panggung sambil membawa boneka kelincinya.)

Ariel                : Apa yang hendak kamu bicarakan? Aku tidak paham hal ini akan menghancurkan keluarga kita.

Leonard           : Justru karena kamu tidak paham akhirnya kami masih bisa hidup, Ariel.

Ariel                : Aku tidak paham sama sekali dengan apa yang kamu bicarakan, Leon!

Leonard           : Untuk membuatmu paham, kami mungkin tidak akan bisa bertemu, maupun bersama lagi.

Ariel                : Kami siapa? Kamu dan Lily? Tidak akan terjadi apa-apa pada kalian. Just tell me already!

Leonard           : (Hanya bisa terdiam sambil menatap Ariel.)

Bunyi monitor jantung semakin kuat.

Ariel                : Hahh.. Suara jam dinding ini keras sekali. Aku tidak dapat menahannya. (Menatap ke arah jam dinding.) Hah? Jam dinding ini mati? Sejak kapan? Kamu tidak menyadari jam ini sudah mati? Bagaimana mungkin jam ini masih tetap berbunyi?

Leonard           : (Menghela nafas.) Jam dinding itu… memang selalu mati. Bahkan dari pertama aku memasang jam dinding itu, tidak pernah jarum jamnya bergeser sama sekali.  Bagaimana mungkin kamu tidak sadar akan hal ini, Ariel?

Ariel                : I swear, jam ini bergerak? Setiap aku menoleh untuk melihat waktu, jam ini selalu berubah. Waktu yang kulihat pada saat ini tidak akan sama dengan waktu yang kulihat tadi pagi.

Leonard           : Is that how is it? Why are you so sure? Why can you be that sure? Kamu bahkan baru saja bisa menyadari jam ini mati setelah tiga tahun. Apa kamu tidak sadar keanehan lagi dari jam ini?

Ariel                : Bunyinya, kan? Detak jam ini… entah kenapa tidak memberikanku perasaan nyaman sama sekali. Aku pernah dengar bunyi ini… di suatu tempat.

Leonard           : Coba pikirkan lagi, Ariel. Ketika kamu sadar, kamu tidak akan bisa kembali lagi.

Ariel                : Suara monitor jantung di rumah sakit, bukan? But why?

Leonard           : (Memeluk Ariel.) Thank you…

Ariel                : Apa maksudmu? Kenapa suara jam berdetak ini sama dengan suara monitor jantung? Kenapa kamu berterima kasih padaku, Leon?

Leonard           : Ariel, please wake up? Aku sangat ingin berterima kasih atas tiga tahun ini. Tapi keinginan terbesarku adalah kamu dapat bangun dan bangkit lagi. Tolong kembalilah.

Ariel                : Jangan berkata seperti itu, Leon. Aku jadi takut dengan apa yang kupikirkan sekarang menjadi kenyataan… Apakah berarti kita tidak akan pernah bertemu lagi?

Objek-objek di dalam panggung mulai bergerak tidak karuan seperti sedang dilanda gempa. Piring di meja makan jatuh dan pecah di lantai panggung. Jam dinding terjatuh dan pecah. Semua yang bisa terjatuh jatuh, dan semua yang bisa pecah pun juga pecah. Lampu panggung diselimuti warna merah. Leonard masih terus memeluk Ariel.

Ariel                : Leon! Jangan diam saja! Jawab aku? Please, jawab aku! Leon? Jawab aku? Kamu pasti bisa jawab aku kan?

Tirai panggung kemudian tertutup. Terjadi perubahan latar terakhir, yaitu kamar rumah sakit. Ada satu ranjang rumah sakit beserta monitor jantung dan infus. Terdapat dua kursi di samping kasur. Suara monitor jantung masih terdengar di sana. Ariel tertidur di dalam ranjang tersebut dengan Raphael dan Michael berada di sana. Raphael tertidur di kursi, sedangkan Michael sedang bermain ponselnya. Ariel akhirnya membuka matanya.

Ariel                : (Mengedipkan mata berulang kali.) Kenapa aku di sini..? (Suara serak.)

Michael           : Akhirnya kamu terbangun juga. Raph, bangun, yok. (Goyang-goyangin pundak Raphael.)

Raphael           : (Tidak mau dibangunkan tetapi tetap bangun.) Iya-iya, berhenti goyangin badanku. (Membuka matanya.) Akhirnya kamu sadar? Sudah… (Mengecek ponsel) tiga bulan kamu jatuh ke dalam koma.

Michael           : Aku carikan dokter terlebih dahulu. (Keluar panggung untuk mencari dokter.)

Ariel                : Kenapa aku bisa di sini, Raph? (Suara serak.)

Raphael           : Kamu ditabrak mobil ketika… (Jeda.) Gabriel menyatakan perasaannya padamu. Kamu tidak tahu harus melakukan apa dan melarikan diri dari Kafe Eden. Dan akhirnya kamu ketabrak karena ada mobil yang tidak mematuhi lampu lalu lintas.

Ariel                : (Memegang kepalanya pusing.)

Raphael           : Tidak usah diingat. Just focus on your recovery. (Memegang bahu Ariel.)

Ariel                : Say, Raph. Berarti hidupku selama tiga tahun ini apa?

Tirai panggung langsung tertutup menandakan akhir dari drama ini.

 

Oleh: Alicia Austin Gumogar (205110201111009)

Sumber Gambar: The Jakarta Post

Komentar

Postingan Populer