Runners
*Kring kring*
Alarm berbunyi,
kubentangkan tanganku untuk mematikannya.
“Haaah.. hari panjang
lainnya.”, kataku dalam benakku.
Ku dudukkan diriku,
mataku memandang sekeliling ruang kamarku, dan yang banyak terlihat adalah
novel, manga, dan DVD game yang bertemakan post-apocalyptic
world.
Setelah merenung
sejenak, aku segera bersiap untuk pergi ke kampus.
Tidak ada persiapan
khusus. Setelah mengunci pintu, aku pun berangkat meskipun dengan hati yang
cukup enggan. Aku berangkat berjalan kaki karena kampusku memang cukup dekat
dengan apartemen yang kutinggali.
“Yo Yuuki! Menunduk
seperti biasa. Cerialah sedikit bro.. Kalau kau menunduk terus, bagaimana kau
bisa menyapa wanita cantik.”
Suara yang sangat
akrab. Itu Hiroki. Berisik, namun tidak masalah bagiku.
“Ooo.. rupanya kau
masih hidup.”, ucapku.
“Kau akan sedih kalau
aku menghilang tiba-tiba.”, balasnya.
“Dunia tidak akan
memburuk maupun membaik kalau kau hilang.”, balasku
Hari ini pun berjalan
dengan normal, tidak ada masalah, segalanya normal. ‘Hari yang indah’, kata
kebanyakan orang. Namun bagiku, itu seperti kekang transparan yang mengikat
jiwaku yang menginginkan kejutan kehidupan.
Satu, dua hari berlalu,
hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Segalanya sama, sampai pada hari
itu.
Kesadaranku mulai
mengambil alih kekosongan dari ketidaksadaranku. Mataku masih terpejam, namun
dari pojok mataku terlihat bahwa di luar sudah terang.
“Sial, alarm tidak
berguna.”, kataku dalam benakku.
Aku pun belum berniat
untuk membuka mata dan bangun, karena pada saat itu aku sudah lelah dengan
kehidupanku sehari-hari. Jadi untukku, sesekali membolos bukanlah hal yang
buruk juga.
Sesaat kemudian, aku
menyadari beberapa hal aneh. Tempat tidurku tidak biasanya sekeras ini. Lalu
mengapa aku bisa merasakan angin sepoi-sepoi? Aku berada di kamarku bukan?
Saat itulah aku
akhirnya membuka mataku dan mendapati bahwa aku berada di sebuah gedung tua. Gedung ini seperti gedung yang belum selesai
dibangun, jadi banyak celah terbuka di sini dan di sana. Dan sepertinya aku
tertidur di lantai 3.
Tidak sampai di situ
saja. Aku kembali dikejutkan dengan pemandangan gedung-gedung yang ditutupi
tanaman merambat.
“Apa ini?”, batinku.
“Bukankah aku tidur di
kamarku? Bagaimana aku bisa berada di sini?”, gumamku.
Kepalaku dibanjiri pertanyaan-pertanyaan.
“Tidak masuk akal.”,
pikirku.
Aku pun menenangkan
diri dan memutuskan untuk berkeliling tempat ini. Ketika keluar gedung dan
melihat sekeliling, semua tampak asing buatku.
Walau begitu, bukan
berarti aku tidak pernah melihat pemandangan seperti ini. Semuanya mirip dengan
latar game dan anime bertema post-apocalyptic
world yang selalu kumainkan.
Tidak ada siapapun di
sekitar sini. Tetapi, ada bekas-bekas aktivitas manusia saat aku berjalan
sekitar 1 kilometer dari gedung tua tadi. Setidaknya ini menenangkanku, karena
aku jadi tahu bahwa aku tidak sendiri.
Berjalan sedikit, aku
menemukan poster-poster yang membuatku terheran-heran. Poster-poster itu
membicarakan teknologi aneh, perang nuklir, kepunahan manusia, dan yang paling
mengejutkan, poster itu dicetak pada tahun 2281.
“Apa kesadaranku
melompati 258 tahun dan berakhir di tubuh seseorang yang tak kukenal?”,
pikiranku berusaha keras mencerna fakta ini.
Namun, entah mengapa
terdapat perasaan senang di hatiku. Jantungku berdebar-debar karena
bersemangat.
“Hah… Hahahaha, masa
bodo dengan kenyataan ini. Inilah impianku! Akan kukerahkan segalanya mulai
sekarang!”, Gumamku.
Tidak terasa aku
berkeliling hingga sore hari datang. Aku pun sampai di pinggiran kota. Tidak
biasanya aku berjalan sejauh dan selama ini. Saat aku sadar, aku merasa lapar.
Aku pun memutuskan
untuk mencari tempat untuk istirahat. Baru saja aku memikirkan ini, terdengar
suara langkah kaki dan dengusan nafas, yang menurut instingku, bukan dari
manusia. Dan benar saja, saat kutengok, itu adalah seekor beruang. Tapi bukan
beruang biasa. Beruang itu lebih besar dan terlihat lebih ganas dari yang biasa
kulihat di kebun binatang.
“Insting? Memangnya aku
memiliki hal seperti ini?”, pikirku.
“Dih, bukan saatnya
memikirkan hal ini, aku harus lari secepatnya!”
Aku ketakutan, aku
ingin lari. Tapi entah mengapa, tubuh ini terasa sangat tenang. Seolah-olah
tubuh ini sudah sering menghadapi hal ini.
Saat beruang itu mulai
menyerang, dengan sigap aku meraih 2 bilah pedang pendek yang tergantung di
celanaku dan menyerang beruang itu.
Pikiranku sedikit sulit
mengikuti instingku ini. Karena itu aku putuskan untuk bergantung pada
instingku ini saja. Dan benar saja, tidak butuh waktu lama, beruang itu tumbang
di hadapanku.
“Tidak masuk akal.”,
gumamku.
Mungkin ini yang
dimaksud dengan muscle memory. Tapi
bagaimana pun, ini terlalu hebat.
Aku pun memotong
sebagian daging beruang itu dan mencari tempat untuk berisitirahat.
Sambil menyiapkan alat
untuk memasak, pikiranku tidak pernah bisa diam.
“Kali ini insting tubuh
ini menyelamatkanku. Tapi mungkin tidak lain kali. Aku harus segera
menyelaraskan diriku dengan kehendak tubuh ini.”
Setelah mengamankan
tempat itu, aku pun bermalam. Berharap esok hari aku dapat berpetualang lagi
dengan bebas.
(Di
sisi lain)
*Kring kring*
“Hah? Suara apa itu?”,
pikirku.
Aku masih memejamkan
mataku, karena aku kelelahan.
“Mengapa tempat ini
terasa dingin? Tapi dinginnya sangat berbeda dari yang biasa kurasakan.”
Karena penasaran, aku
pun membuka mataku. Aku terbangun di sebuah ruangan tertutup dengan pemandangan
yang aneh. Semua ini tidak pernah kulihat sebelumnya.
Mataku mengelilingi
ruangan itu. Semuanya asing. Ada beberapa tulisan yang tidak bisa kubaca.
Aku pun merenung. Tapi
semakin kurenungkan, semakin aku kebingungan.
“Bagaimana aku bisa di
sini?”
“Harusnya aku sedang
tidur di gedung tua, kan?”
“Ini hanya mimpi.”. Pikiran
seperti ini berputar-putar di kepalaku.
Aku pun menampar
pipiku. Terasa sakit.
Dengan begitu, aku
teryakinkan bahwa ini nyata.
“Baiklah. Namaku Yuuki.
Kemarin aku tidur di sebuah gedung tua dan entah bagaimana caranya, aku
terbangun di sebuah ruangan yang tidak aku kenal.”, kataku pada diriku sendiri.
Aku berusaha membuat garis cerita yang masuk akal mengenai semua ini dengan
berkata begitu pada diriku sendiri. Meskipun pada akhirnya, semua ini tidak
masuk akal.
“Oke! Dari pada terus
kebingungan, lebih baik aku pergi keluar.”, kataku pada diriku lagi.
Setelah sedikit
merapihkan diri, aku keluar dari tempat itu. Dan berjalan-jalan di tempat yang
ramai.
Entah aku harus
menyebut tempat itu apa. Aku tidak pernah melihat tempat yang begitu ramai.
Cukup membahagiakan dan melegakan bisa melihat manusia lain sebanyak ini.
Mataku pun terpana
melihat gedung-gedung tinggi di sana. Seumur hidupku, aku hanya pernah melihat
gedung-gedung tertutupi tanaman rambat.
Di bagian atas gedung
itu ada tulisan bergerak. Mungkin itu yang disebut iklan? Entahlah. Aku
terfokus pada tanggal yang bertuliskan ‘tahun 2023’. Sejenak aku terpaku. Pikiranku seakan
kesulitan mencerna semua ini.
“2023? Seharusnya aku
hidup di tahun 2281, kan? Bagaimana aku bisa berada di sini?”
“Kesadaranku pergi ke
258 tahun sebelumnya?”
Aku sungguh kebingungan.
Tiba-tiba pikiranku
dibuyarkan oleh tepukan orang lain di bahuku.
“Hei, kau tidak apa?”,
katanya.
“Wajahmu kelihatan
pucat lho!”, tambahnya.
Mungkin orang itu
memperhatikan aku yang sejak tadi tampak terkagum-kagum sekaligus bingung.
“Ya, aku tidak apa.”,
sahutku.
Ia pun
mengangguk-angguk dan terlihat hendak pergi.
Aku pun memberanikan
diri untuk bertanya,
“Permisi, apa sekarang
ini benar-benar tahun 2023?”, tanyaku dengan penuh penasaran.
“Ya, ini tahun 2023.
Mengapa kau bertanya? Bukankah itu hal yang sangat jelas?”, jawabnya.
Aku pun hanya
mengangguk mengiyakan jawaban itu.
“Terima kasih.”,
balasku.
Aku pun berjalan lagi
sambil merenung. Sebenarnya aku merasakan emosi senang di dalam hatiku.
Bagaimana aku tidak senang, pemandangan ini hanya pernah aku lihat melalui
poster yang dicetak bertahun-tahun sebelum aku lahir.
“Aku harus mencari tahu
bagaimana ini semua bisa terjadi.”, pikirku.
“Tapi tidak ada
salahnya menikmati hidup baru ini.”, gumamku sambil tersenyum kecil.
(Di
dua ruang dan waktu yang berbeda)
“Baiklah. Aku harus menghidupi kehidupan baruku ini sepenuh hati! Sebaiknya aku tidak kembali kehidupanku yang lama!” kataku pada diriku sendiri dengan perasaan yang sangat bersemangat. (Yuuki dan Yuuki)
Oleh: Gavriel Pradiansyah (215110200111045)
Komentar
Posting Komentar