Tempat Hangat

Banyak orang bilang, fakta dia pergi bukanlah hal yang membuatmu ketakutan. Tapi fakta bahwa ingatanmu tentang dia yang tidak akan pernah sama lagi. Suara berat yang menyapa gendang telingamu bertepatan dengan cahaya pagi hari yang memaksamu untuk bangun. Lekung bibirnya saat tertawa bersamaan dengan matanya yang tidak sengaja menjadi garis tipis ketika mendengar candaan. Atau mungkin hanya sekedar kehadirannya yang membuat merasa nyaman dan aman dimanapun.

Semua hal yang ia catat sebagai kebiasaanya. Hal kecil seperti membukakan footstep motor dan memakaikan helm saat mau pergi malam minggu, ataupun menghisap beberapa rokok sebelum memulai berbincang denganmu.

Semua memori akan pudar seiring berjalannya waktu. Dan memorimu akan kehabisan rekaman cerita tentang dirinya yang dulu ikut serta hidup di kehidupanmu.

Ketika dia pergi menghilang, begitupun dengan tulisanmu yang sudah menemukan titik akhirnya.

 

****

 

“kehujanan lagi” keluh Senjani dengan bibir cemberut kepada lelaki dengan senyum tipisnya, yang mengusap rambut basahnya. “nggak papa, nanti juga reda. Aku suka kok, kamu juga suka kan kalo hujan?” ucap pria tersebut sambil menatap mata dan mengusap lembut kepala Senjani.

Pras, si paling mengerti kesukaan Senjani. Tentang suara rintik hujan yang baginya menenangkan, aroma tanah yang baru saja ditetesi air hujan, bahkan genangan kecil yang ada saat hujan reda yang menampilkan pantulan diri.

Sambil menunduk menyembunyikan perasaan salah tingkahnya, Senjani mengangguk kecil “suka”

Tapi Pras lebih suka wana jingga ketika matahari terbenam. Dengan warna sedikit merah muda dan gradasi yang memenuhi langit yang menjadikan senja ketika sudah waktunya sang rembulan menggatikan tugas sang mentari.

Juga lebih sangat suka dengan Senjani miliknya.

“kenapa waktu minum teh malam hari, kalau tekonya habis kamu suruh bubar dan gak boleh ada obrolan lagi. Kamu gak suka ngobrol sama aku?.” celetuk Pras tiba-tiba.

Senjani menjawab sambil tersenyum, “bukannya gak suka ngobrol sama kamu, mana mungkin begitu. Orang kita saja hidup satu atap. Kita cicil saja, sedikit-sedikit, aku mau nya punya cerita baru yang didengar dari kamu.”

Tanpa diketahui Pras kalau hal itu akan terus berputar di memorinya tentang Senjani yang mencinta Pras dengan caranya sendiri. Hal itupun membuat Pras belajar tentang cinta dengan cerita. Dari perempuannya, Senjani.

Kembali pada Senjani yang ditulis Pras di lembar awal, tentang langit dan juga Senjani miliknya.

Pras duduk menatap matahari yang sedikit demi sedikit menghilang dan meninggalkan jejak indah yang terus ia nikmati tanpa beralih. Di tempat yang sama, dari bangku yang sama di samping jendela yang pernah diisi dengan 3 kursi, bedanya satu pemiliknya sudah tidak akan berkunjung lagi.

Tanpa Senjani miliknya. Pras menjalani hidup dengan figur Senjani versi remaja dalam diri anak mereka, Ina.

“Ayah baik-baik saja kok, kamu ke kamar gih tidur”

Ina mendengus, “Bagaimana aku bisa tidur tenang kalau aku masih mendengar Ayah menangis sambil memeluk baju Bunda?”

“nak...”

“Bunda pasti lebih senang kalau lihat Ayah bisa tidur nyenyak tiap malam. Bunda suka kalau Ayah menggerutu rindu, Ina tahu. Tapi Bunda lebih suka lihat Ayah senyum manis dengan mata cantik tanpa kantung mata dan sisa air mata.” Ucap Ina sambil mengusap kening Ayahnya.

Tidak lagi ia mengucap pujaan pujaan, tentang cantiknya paras Senjani saat ia baru bangun tidur. Setiap hari, Pras terlelap dengan sisa kesedihan di ujung matanya. Tnapa bisikan cinta, tanpa bisikan selamat malam dari terkasihnya.


Isnain Chusnah (205110201111011)

Komentar

Postingan Populer