Resplendence
Dia bersinar.
Sangat terang.
Senyumannya, pancaran matanya, dan bahkan kilauan rambutnya saat diterpa sinar matahari.
Aku senang menatapnya seperti ini, ia berlari dan bersenandung menikmati semilir angin hangat musim panas. Hanya berdua, aku dan dia.
Ku ikuti langkah kakinya perlahan, sembari mengawasinya berlarian menuju pohon oak besar. Pemuda berambut biru tua panjang itu masih terus asik berlari dan tertawa.
“Hahahaha… Feng-ge! Feng-ge! Ayo kemarilah, lihat ini!” serunya.
“Tenanglah, Xing-a. Semua penghuni hutan ini akan bisa mendengarmu nanti” ucapku sembari mendekat menghampirinya.
“Lihat ini! Begonia berkelopak lima! Bukankah itu langka?” tanyanya antusias.
“Ya. Jangan terlalu bersemangat, nanti kau terjatuh, Xing-a.” jawabku sederhana. Ia membalasku dengan dengusan pelan dan berbaring di bawah pohon. Lucu sekali. Tingkahnya yang polos dan kekanak-kanakan itu terlihat sangat menggemaskan bagiku. Andai saja mata para tetua kolot itu tidak dibutakan dengan fakta bahwa Xing-a yang merupakan seorang manusia. Ah…kebencian ini sangat menjengkelkan.
“Apa yang kau pikirkan, Feng-ge? Apakah para Elder itu menyulitkanmu lagi?” Xing-a menoleh dan bertanya. “Tidak. Aku hanya sedang merenungkan tingkah konyolmu.” Jawabku singkat.
“Hmmph. Aku tidak bodoh. Aku tahu dari raut wajahmu itu. Kalau kau mengerutkan alismu seperti itu terus, kau akan cepat tua.” Ucapnya. Jari tangannya yang sedikit kasar akibat seringnya memotong kayu menempel di dahiku. “Konyol. Kami kaum elf tidak seperti kalian manusia yang menua sangat cepat.” Jawabku asal.
Hening.
‘Ah…bodohnya aku. Mengapa harus mengungkit topik seperti ini’ pikirku. Dasar tidak peka.
“Haaa…justru karena itu lah kami, kaum manusia, tau bagaimana harus menikmati hidup. Tidak seperti kalian, para elf yang sangat membosankan.” Ujarnya ringan.
Aku tidak menjawabnya. Kubiarkan keheningan ini masuk diantara kami. Ku coba ikut berbaring dan menikmati hangatnya sinar dan semilir angin. Haaa…memang sebuah kebahagiaan jika momen ini bisa bertahan selamanya.
---
“Hey, Feng-di...”
Ah… kumohon, jangan bangunkan aku dulu.
Biarkan aku menikmati mimpi indah ini.
“Feng didi…”
Aku lelah.
Aku ingin beristirahat sejenak bersamanya…
“Luo Feng! Sadarlah! Kau harus segera bersiap! Para Elder lain sudah menunggumu.”
Hahh…. Dengan terpaksa ku buka mataku. Memuakkan. Pemandangan indah pohon oak besar dan sinar hangat itu sudah tiada. Begitu pula dengan sosoknya yang bersinar….
‘Perang sialan ini!’ umpatku pelan.
“Feng-di!”
“Berisik, Mo Beiyu. Biarkan saja para Elder sialan itu menunggu lebih lama. Bukankah mereka sudah tau sikapku terhadap perang ini? Apalagi kepentinganku di rapat itu?” tukasku. Perasaan kesal tiba-tiba menguasai diriku.
“Didi…meski begitu, kau tetap salah satu dari Dewan Kebijaksaan, keputusan apapun itu harus tetap diambil dengan kehadiran kita semua. Suka ataupun tidak.” balas Mo Beiyu halus.
“Dewan Kebijaksanaan pantatmu.” umpatku. Meski begitu, aku tetap berjalan menghampirinya dan kami pun pergi menuju Mata Air Eldora, tempat para elder elf biasa mengadakan pertemuan.
Dalam perjalanan menuju Mata Air Eldora, pikiranku kembali melayang, memikirkan kabar Zhou Xing. Sejak dua tahun lalu, gerbang menuju Hutan Kehidupan telah ditutup karena ketegangan yang terjadi diantara kaum manusia dan elf baru-baru ini. Ketegangan sebesar ini belum pernah terjadi selama lima ratus tahun ke belakang. Meskipun terkadang ada percikan antara kedua ras, keputusan untuk menutup diri dari dunia masing-masing tidak pernah diberlakukan sejak Perjanjian Halycon disepakati. Dan kini, apakah perang besar akan kembali terjadi atau tidak, akan ditentukan dalam pertemuan ini.
“Selamat datang, Elder Mo dan Elder Luo. Para Elder lain sudah menunggu Anda berdua. Silakan.” ucap seorang elf muda di depan pintu menyambut kami. Nada ketidaksukaan terdengar dalam suaranya. “Terima kasih, Archie. Ayo Feng-di.” Jawab Mo Beiyu dan berjalan mendahuluiku. “Hhh… aku ingin menemuinya.” Ucapku lirih dan mengikuti Mo Beiyu.
.
.
.
“Para manusia itu sudah tidak bisa dimaafkan!”
“Ya, benar! Mereka semakin seenaknya saja memasuki wilayah kita dan mengambil sumber daya kita!”
“Sampai kapan kita harus bersabar? Aku sudah muak dengan tingkah bodoh mereka. Dasar makhluk berotak udang!”
“Ekhem. Sepertinya kami datang terlambat.” Seketika, semua suara di dalam ruangan berhenti. Ada yang menunduk, ada yang menghindar melihat ke arah kami, dan ada yang tersenyum kecut.
“Hah! Sepertinya Elder Mo dan Elder Luo sangat sibuk sehingga melupakan rapat tidak penting ini.” ujar salah satu Elder.
“Tentu. Tidak seperti Elder Jin yang sepertinya memiliki banyak waktu luang” balasku acuh.
“Kau!”
“Cukup! Karena semuanya sudah tiba, mari kita lanjutkan pertemuan ini.” Sela seorang Elder berambut putih.
“Mohon maaf, Elder Xia.” Ucap kami dan kembali duduk di tempat masing-masing.
Waktu berjalan seperti selamanya. Seperti yang sudah kuduga, rapat ini sangatlah membuang-buang waktu. Membosankan. Aku bisa melihat kemana akhir dari pertemuan ini akan berjalan. Mendengarkan orang-orang tua itu dengan semangat berapi-api memuntahkan perkataan mengenai perbuatan keji manusia selama ini membuatku ingin membungkam mereka. Bukannya aku menutup mata dari semua fakta tersebut, manusia memang makhluk bodoh yang tidak bisa belajar dari kesalahan mereka tetapi bukan berarti itu berlaku untuk semua manusia. Ada juga sebagian dari mereka yang berhati baik dan menyenangkan, seperti dia…
Tidak. Aku tidak boleh melamun lagi…
Sebelum aku sempat tenggelam lebih dalam, ku angkat mataku memperhatikan seluruh ruangan hingga sesuatu menarik perhatianku.
Ada sesuatu yang salah.
Aku melihat kerumunan kecil di depan pintu gerbang yang dijaga oleh Archie. Seorang elf muda sedang berbicara seperti menjelaskan sesuatu pada Archie. Entah apa yang dia katakan, tetapi melihat raut wajah Archie sepertinya itu bukan hal yang bagus. Archie mengangguk singkat dan mulai berjalan memasuki ruang pertemuan. Saat melewati bangku yang kududuki, kami sempat bertatapan, tapi dia langsung mengalihkan pandangannya seperti enggan melihatku.
'Hhmm? Kenapa dengan anak satu ini? Biasanya dia akan balas melotot dan tersenyum mengejek.’ Pikirku heran.
“Penjaga Mata Air Eldora, Zhen Archie, memohon permintaan maaf kepada para Elder atas kelancangannya mengganggu pertemuan yang sangat penting ini. Baru saja saya menerima berita dari para penjaga hutan di perbatasan dengan dunia manusia bahwa telah ditemukan seorang manusia yang menerobos masuk ke hutan kehidupan.”
Deg.
Apa ini? Mengapa aku segelisah ini?
“Apa? Apakah dia sudah ditangkap?”
“Dia pasti mata-mata yang dikirim oleh para manusia laknat itu!”
“Bagaimana dia bisa masuk? Bukankah perbatasan sudah ditutup?”
“Diam!” Suara Elder Xia kembali menghentikan keributan yang terjadi. Ia pun meminta Archie untuk melanjutkan penjelasannya.
“Karena tingkahnya yang mencurigakan dan atas pertimbangan ketegangan yang sedang terjadi, para penjaga yang bertugas memutuskan untuk menangkapnya dan memeriksanya. Namun anehnya, saat penjaga mengalirkan mana untuk memeriksanya, tiba-tiba saja ia terjatuh memuntahkan banyak darah. Tak lama kemudian, manusia tersebut menghembuskan nafas terakhirnya.”
Hening.
Tidak ada yang bereaksi.
“Apakah kalian sudah memeriksa identitasnya?” Elder disampingku bertanya.
“Sudah.” Jawab Archie singkat. Ia masih saja menolak untuk melihat ke arahku. Aku yang tidak bisa mengenyahkan perasaan gelisah yang semakin menjadi-jadi ini pun mengeratkan genggamanku pada kursi dan bertanya perlahan,
“Siapa?”
Ada jeda sejenak, dapat ku lihat Archie ragu-ragu untuk menjawab.
Ah…kumohon, jangan dia…
Sebelum Archie dapat menjawab pertanyaanku, aku sudah bergegas pergi menuju perbatasan hutan kehidupan. Sepanjang perjalanan, aku tidak bisa memikirkan apa pun. Sesampainya disana, aku melihat kerumunan yang mengerumuni sesuatu. Tidak, seseorang.
“Minggir” ujarku singkat.
Seketika itu pula, kerumunan tersebut terbelah dan aku pun melihatnya.
Dia ada disana, berbaring seperti tertidur. Wajah damainya terlihat persis seperti yang biasa ia tunjukkan ketika tertidur di bawah pohon oak bersamaku. Semuanya terlihat sama, kecuali rona wajahnya yang tidak bersinar dan noda darah disekitar mulutnya…
“Tidak. Xing-a…” aku mendekatinya, masih tidak percaya. Saat aku akan meraih wajahnya, sebuah tangan menahanku.
“Feng-di, akan lebih baik jika kamu tidak menyentuhnya.” Suara Mo Beiyu terdengar samar di telingaku. Ku sentakkan tangannya dan menoleh menatapnya, “Kau! Apa maksudmu?!”
“Tenanglah, Feng-di. Aku tidak bermaksud melarangmu. Izinkan aku memeriksanya terlebih dahulu. Kau tahu maksudku bukan?” ucap Mo Beiyu. Perkataannya sedikit berhasil menjernihkan kepalaku. Benar, aku harus tau apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa Zhou Xing ada disini. Mo Beiyu kemudian menekankan jarinya di dahi Zhou Xing dan mengalirkan mana miliknya. Tak lama kemudian dia mengangkat jarinya.
“Bagaimana? Beri tau aku apa yang kau lihat.” Ucapku.
“Dia…tidak dibunuh oleh penjaga hutan.” Jawab Mo Beiyu pelan
“Lantas?”
“Itu rencana mereka. Mereka tau hubunganmu dengan pemuda ini…Mereka berkata jika dia terpilih sebagai perwakilan perdamaian dan menyuruhnya pergi ke hutan untuk berdiskusi denganmu. Dia…dibunuh oleh manusia, diracun.”
Aku terdiam.
Setiap kata yang keluar dari mulut Mo Beiyu bergema dalam benakku.
“…Feng-di?”
Aku tidak menjawabnya. Aku dapat merasakan sesuatu pecah dalam diriku. Kemarahan yang tidak pernah ku rasakan sebelumnya. Kemarahan yang kupikir tidak akan pernah ku arahkan pada makhluk yang bernama manusia.
“Mo Beiyu. Katakan pada para Elder itu, mereka menginginkan perang bukan? Sampaikan pada mereka, aku mengubah suaraku menjadi setuju. Sampaikan juga pada mereka, bahwa aku, Luo Feng, yang akan memimpin perang ini.” Ujarku dingin.
.
.
.
Tiga tahun kemudian…
“Apakah keputusanmu sudah bulat?”
“Ya. Apapun yang kau atau Elder lainnya katakan, keputusanku tidak akan berubah. Aku sudah berhutang terlalu banyak kepada kalian semua, aku tidak ingin membebani kalian lebih lama lagi. Lagi pula, aku rasa sudah saatnya aku pergi mencarinya.”
Dua laki-laki tampan tampak berdiri beriringan di bawah pohon oak besar. Laki-laki yang berambut pirang dan berpakaian khas elf tersebut tampak mengamati ekspresi laki-laki satunya. Laki-laki itu memiliki rambut biru yang dipangkas pendek dengan penampilan khas pengembara. Wajahnya bersinar cerah dan sangat tampan. Sosoknya yang dahulu polos dan kekanak-kanakan sudah lama hilang, digantikan raut wajah tegas dan tenang.
‘Dia benar-benar tumbuh mirip dengannya’ Pikir laki-laki berambut pirang.
“Tetapi, Zhou Xing…”
“Cukup, Elder Agung Mo. Aku tidak ingin mendengar bujukan apapun lagi.” Ujar Zhou Xing, laki-laki berambut biru tua pendek itu.
“Hhh…baiklah. Berhati-hatilah di luar sana. Apakah kau sudah menentukan tujuan pertamamu untuk mencarinya?”
“Belum. Aku bahkan tidak tahu kabar lain selain yang telah kita terima mengenai lokasi keberadaannya. Tetapi aku akan mencoba dari tempat-tempat yang jauh dari peradaban manusia, dia terlalu membenci kaumku sekarang.”
Terlihat Mo Beiyu menghela nafas pelan. Raut wajahnya terlihat lelah ketika memikirkan sahabatnya satu itu. Setelah perang besar yang ia pimpin dalam kemarahan selama hampir satu bulan, Luo Feng telah membantai lebih dari setengah populasi manusia. Mungkin ia akan terus mengamuk jika dirinya tidak mencoba menghentikannya. Dia mencoba membujuk Luo Feng untuk berhenti dengan janji akan mencoba menghidupkan kembali Zhou Xing menggunakan kekuatan pohon kehidupan. Siapa sangka bujukan putus asa tersebut berhasil? Zhou Xing dapat hidup kembali dan kepunahan manusia dapat dihentikan. Ia pun kini berhasil naik menjadi Great Elder dan menghidupkan kembali kehidupan bangsa elf pasca perang.
Namun sayangnya, Luo Feng telah terlalu jauh tenggelam dalam kebencian terhadap manusia sehingga keberadaanya ditakuti bahkan oleh bangsanya sendiri. Ia pun memilih untuk mengasingkan diri. Ia bahkan tidak berpamitan kepada Zhou Xing, bahkan sekedar mengunjunginya. Ia hanya berpesan pada Mo Beiyu untuk tidak mencarinya dan menitipkan Zhou Xing padanya. Sungguh elf yang egois.
“Kalau begitu, aku pamit, Elder. Tolong ucapkan terima kasih kepada semuanya.” Zhou Xing pun membalikkan badan dan mulai berjalan menuruni bukit menuju perbatasan antara hutan bangsa elf dan dunia manusia.
“Semoga kau dapat menemukan dan membawa kembali, takdirmu.” Ucap Mo Beiyu pelan sembari memberikan berkat terakhirnya secara diam-diam.
Robiatul Wafiyah (205110200111041)
Komentar
Posting Komentar