Matahari


Angin musim panas meniup genta angin dengan lembut. Suara jangkrik terdengar mengiringi angin di pedesaan. Terlihat anak-anak bermain di sungai sambil tertawa dan saling menyiram satu sama lain. Aktivitas itu sendiri sebenarnya tidak cukup untuk mendinginkan raga mereka. Teriknya hari itu tidak main-main. Musim panas tahun itu bisa menjadi musim panas paling panas dalam 20 tahun terakhir, layaknya konflik antara Ambrosia dan Averna. Kedamaian dunia selama hampir 87 tahun akhirnya berakhir. Konflik ini bukan hal yang tidak dapat diprediksi. Kenyataannya, semua orang tahu bahwa meskipun ada perjanjian damai antara kedua negara, kedua negara itu tidak dapat bersatu. Perjanjian itu hanya “kertas” yang ditandatangani oleh kedua pemimpin untuk menjaga kehidupan masyarakat. Tentu saja pertumpahan darah tidak bisa dihindari. Sekalipun rakyat mereka menginginkan perdamaian, hal itu tidak bisa dicapai dengan mudah. Kedua negara itu sudah pernah mengalami konflik dulu, jadi itu bukanlah sesuatu yang baru.

Di halaman belakang salah satu rumah di pedesaan di Ambrosia, seorang pemuda terlihat sedang merawat tanaman dan bunganya. Taman itu kecil tapi indah. Bunga Peony dan Aster telah bermekaran dan menyebarkan aroma harumnya ke seluruh bagian rumah. Dia tersenyum sambil dengan hati-hati menyentuh kuncup bunga kesukaannya yang baru tumbuh, Bunga Matahari. Ya, mereka belum tumbuh pada tahun itu. Pemuda itu menyeka keringatnya saat dia melihat seorang perempuan memasuki tamannya.

“Kamu di sini lagi?” seorang gadis muda yang tiga tahun lebih muda darinya, memasuki taman dengan tampang bosan. Dia masih mengenakan seragam sekolahnya, sepertinya dia baru saja pulang sekolah. Pakaiannya kotor, dan beberapa bagiannya compang-camping dan berlumuran darah tetapi ekspresinya normal, seolah itu bukanlah hal yang aneh.

“Ya ampun, kamu bertengkar lagi, Lune?” pemuda itu buru-buru menghampiri gadis itu. Dia benar-benar prihatin dengan gadis itu. Gadis itu adalah tetangganya dan teman masa kecilnya. Dia adalah gadis yang tangguh dan nakal tetapi di matanya, dia adalah perempuan yang menggemaskan dan perlu dilindungi. Dia telah tumbuh, tetapi kepribadiannya tidak pernah berubah.

“Mereka yang mulai duluan. Sama sekali bukan salahku,” jawabnya sambil membuang muka dan mengamati taman. Pemandangan tanaman yang tumbuh sungguh menakjubkan. Perempuan itu tahu seberapa hebatnya keterampilan pemuda itu berkebun tetangganya.

“Lebih baik kita periksa lukamu di dalam, Lune,” ucap pemuda itu sambil menghela nafas. Dia memegang tangan Lune dengan lembut. Tangannya hangat dan sedikit kotor karena tanah dan keringat akibat aktivitasnya barusan tetapi Lune tidak terlalu peduli.

Mereka segera memasuki rumah tersebut. Rumahnya tidak terlalu besar,  seperti halaman belakangnya. Memang rumah-rumah di pedesaan kecil tapi layak dan memadai. Perabotannya tidak banyak‒kursi, meja, lemari, dan perlengkapan dapur‒ dan hanya ada dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Dia membimbing Lune untuk duduk di kursi terdekat dan pergi mengambil kotak P3K. Setelah menemukannya, dia mencuci tangan kotornya di wastafel dan duduk di samping Lune untuk mulai merawat lukanya.

“Kamu memang kuat, Lune. Tapi kamu harus tetap menjaga dirimu sendiri dan berhenti melakukan hal-hal yang tidak perlu seperti berkelahi,” katanya sambil mendisinfeksi luka di tangan Lune. “Kamu tahu negara kita sedang tidak dalam situasi yang baik dan aku mungkin tidak bisa mengobati lukamu seperti ini setiap saat.”

Karena rasa pegal dan lelah, Lune memilih untuk tidak membantah dan mendengarkan pemuda tersebut. Sementara pemuda itu memberi ceramah dan mengobati luka-lukanya, dia memeriksa rumahnya dan menemukan sebuah kertas di atas meja. Tidak sopan mengambil dan membaca milik orang lain, jadi dia mengabaikannya.

“Ah ya, kamu beneran ingin belajar lebih banyak tentang ilmu kedokteran, Soleil?” dia bertanya dengan rasa ingin tahu sambil menatap wajah Soleil. Soleil adalah pria yang tampan. Alisnya tebal tetapi serasi dengan wajahnya, membuatnya tampak lebih lembut dan garang di saat yang bersamaan. Rambutnya yang biasanya rapi agak berantakan dan basah oleh keringat.

Pria itu, Soleil, awalnya terkejut. Dia membalut tangan Lune yang terluka dengan perban dan membuang muka sejenak. Lune masih bisa melihat wajahnya dari posisinya. Raut mukanya seperti menyembunyikan rasa bersalah dan kesedihan yang dimiliki, namun berubah menjadi dirinya yang biasa dan percaya diri. "Jelas dong! Aku kan memang ingin membantu orang. Siapa lagi yang bisa melakukan itu selain aku?”

“Iya, sih. Itu memang kamu, Soleil,” dia tersenyum dan Soleil terkejut. Bahkan peramal pun tidak bisa memprediksi kapan Lune akan tersenyum. Jantungnya berdetak kencang dan dia kembali tersenyum pada Lune. Rasa kebahagiaan menyeruak di dalam tubuhnya seiring dengan mukanya yang biasanya cemberut ataupun datar melengkung ke arah berlawanan. Dia benar-benar menakjubkan saat itu. Andai saja momen ini bisa bertahan selamanya, pikirnya.


***


Hujan musim panas telah dimulai, katak muncul entah dari mana dan anak-anak dengan gembira bermain dengan hujan. Konflik antara Ambrosia dan Averna masih belum reda. Perang masih terus berlanjut dan masyarakat cemas akan masa depan mereka yang tidak jelas. Tidak mungkin mereka bisa terus berperang, bukan? Sumber daya, uang, dan nyawa akan terbuang sia-sia. Tidak ada rasa aman sama sekali. Banyak orang kehilangan anggota keluarganya karena perang. Lune bukan pengecualian, dia harus merelakan ayahnya untuk pergi berperang. Sebagai penduduk yang diwajibkan untuk ikut perang, ayahnya juga berjuang untuk negaranya. Sampai berapa lama lagi perang ini akan berlangsung? Pikirnya.

Karena Soleil cukup sibuk dengan studinya, Lune memutuskan untuk menjadi gadis yang baik dan membantunya merawat tanaman dan bunganya. Dia memutuskan untuk berhenti menyusahkan ibunya berlebihan karena kesehatannya menurun sejak perang dimulai. Dia juga menemukan cara baru untuk mengganggu Soleil. Dia sengaja menanyakan pertanyaan sulit kepada Soleil. Dan Soleil tidak pernah mempermasalahkannya. Dia akan berlagak angkuh ketika bisa menjawabnya dan terlihat gugup ketika tidak bisa menjawabnya. Dia terlihat sangat manis, pikir Lune yang tidak bisa menyangkal perasaannya.

“Bunga mataharinya 'dah mekar?” Soleil melepas kacamata bacanya di atas meja belajar. Dia mendekati Lune yang sedang duduk di lantai kayu menghadap taman halaman belakang rumahnya. Tempat itu adalah spot favoritnya di rumah sederhana itu. Dia menyukainya karena dia bisa melihat pemandangan indah dari dedaunan hijau yang semarak dan kelopak bunga warna-warni yang menghiasi taman kecil itu. Saat cuaca cerah, bunga yang mekar bersinar cemerlang seperti kristal. Hal itu mengingatkannya lagi akan betapa indahnya senyuman Lune.

Lune menggelengkan kepalanya, tangannya memegang penyiram tanaman yang kosong. Ia mengenakan pakaian sehari-hari berupa kaos berwarna biru langit dan celana panjang selutut berwarna hitam disertai dengan sepatu olahraga lusuh berwarna putih. Pakaiannya agak kotor karena kotoran tapi dia abaikan, lagipula ia bisa mencucinya sampai bersih. Rambutnya yang pendek menempel ke kulitnya karena keringat.

“Ah, begitu.” 

Lune bisa mendengar kekecewaan dalam suaranya tapi dia segera kembali ke keceriaan andalannya. “Terima kasih telah membantuku lagi, Lune. Tanpa bantuanmu, kurasa aku tidak bisa fokus pada studiku,” lanjutnya sambil mengacak-acak rambut pendek Lune yang berwarna coklat sambil tersenyum. Pipi Lune memerah karena ulah Soleil. Dia diam-diam menatap Soleil ketika dia tidak memperhatikan.

“Kayaknya bakal hujan..” Soleil melihat ke langit di atas.

“Jelas banget, sih. Langitnya mendung dari tadi,” jawab Lune kepada Soleil sambil juga mengamati awan gelap menari di angkasa. “Oh iya, gak ada PR?”

“Dah kukerjain. Mau ngabisin waktu bareng, kah?” Soleil tersenyum sambil membungkuk agar kepala mereka sama tinggi. Dia mendekatkan wajahnya ke yang lebih muda dan tersenyum polos. Lune tersipu malu. Jantung Lune berdebar kencang seperti bom yang akan meledak. Dia segera mendorong Soleil menjauh darinya, takut dia melihat raut mukanya.

Soleil terkejut karena dorongan tiba-tiba dari Lune. Dia merasa agak sakit hati karena perlakuan yang tiba-tiba itu. “Aduh, kamu tidak perlu mendorongku sekeras itu, Lune. Kamu masih kuat walaupun kamu sudah cukup lama tidak bertarung.”

“Bukan itu maksudku, kok. Maaf..” Lune yang menyadari kesalahannya segera meminta maaf sambil membungkuk beberapa kali. 

Sebelum Soleil sempat menjawab, angin kencang mendobrak pintu depan rumahnya. Dia melihat ke pintu yang terbuka dan melihat seorang tentara berdiri di depan pintu utama rumah Lune. “Tunggu sebentar, kayaknya kamu kedatangan tamu,” katanya sambil masih melihat ke luar.

Mereka pergi ke rumah Lune secepat mungkin. Tentara itu memandang Lune dengan rasa prihatin di matanya. Dia segera menyerahkan sebuah amplop kertas. Perasaan buruk memenuhi hatinya saat dia menerima amplop itu. Prajurit itu terus meminta maaf, mengatakan bahwa itu semua salahnya, beberapa kali sebelum akhirnya pergi.

Aneh. Apakah terjadi sesuatu pada ayah? pikir Lune dalam hati. Dia membuka amplop merah itu dengan tergesa-gesa, berusaha mengabaikan naluri buruknya. Soleil masih berdiri diam di sampingnya, setia menemaninya dan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Saat surat itu keluar dari amplop merah, hatinya hancur. Rasanya sangat sakit seperti ada sesuatu yang menusuk jantungnya namun tidak ada emosi yang keluar dari wajahnya. Dia menatap kertas itu tanpa emosi namun dia tidak bisa menghentikan getaran luar biasa yang keluar dari tubuhnya. Mata Soleil membelalak saat membaca isi surat itu. Dia segera memeluk Lune dengan erat. Lune yang masih kaget dengan apa yang terjadi membiarkan Soleil memeluknya. Senyum putus asa terbentuk di wajahnya. Soleil merasa dunianya baru saja dihancurkan.

Langit mendung menitikkan air matanya seolah kasihan pada gadis malang itu. Jika pemuda itu tidak memeluknya, dia pasti sudah terjatuh ke tanah. Kakinya kehilangan kekuatan untuk menopang dirinya sendiri. Dan tetap saja, tidak ada air mata yang jatuh dari matanya. Dia sudah tahu bahwa hal itu pasti akan terjadi suatu hari nanti dan dia harus selalu bersiap menghadapi hari malang itu. Dia berjanji kepada ayahnya bahwa dia tidak akan menangis, bahwa dia akan mengirimnya pergi sambil tersenyum. Namun ketika ibunya keluar dari rumahnya, dia tidak dapat menahannya lebih lama lagi dan menangis seperti tidak ada hari esok.

Maka, hari yang tenang itu berakhir dengan menyakitkan.


***


“Soleil! Apa maksudmu ibu mungkin tidak akan bertahan lama?” Lune meraih kerah Soleil. Dia menatap Soleil dengan putus asa. Soleil hanya menunduk, tidak punya keberanian untuk menyusun kebohongan yang indah untuknya. Menipu Lune dengan memutarbalikkan kebenaran akan lebih menyakitinya di masa depan. Dia tidak bisa melakukan apa pun untuk membantunya. Kurangnya ilmu pengetahuan dan pengobatan bukanlah masalahnya. Jika seseorang telah kehilangan makna hidup, tidak ada yang bisa dilakukan lagi untuk menyelamatkannya. Andai saja dia bisa menukar nyawanya agar Lune kembali bahagia bersama keluarganya. Kalau saja ada cara untuk melakukannya, dia akan dengan senang hati melakukannya demi kebahagiaan Lune.

Dia sendiri juga memiliki konflik batin. Dia tidak bisa melakukan apa pun untuk Lune. Bagaimana dia bisa menyelamatkan semua orang jika dia bahkan tidak bisa menyelamatkan Lune. Dia telah dipanggil untuk bergabung dengan Palang Merah untuk perang. Menolak bukanlah suatu pilihan. Jika hidupnya bisa menyelamatkan orang lain, maka dia akan dengan senang hati melakukannya. Tapi meninggalkan Lune dalam kondisi seperti ini bukanlah hal yang benar. Dia masih patah hati, merasa tidak berdaya menghadapi betapa kejam dan tidak adilnya dunia ini.


***


“Jadi, kamu sudah datang,” Soleil yang sedang memotong beberapa tangkai bunga menyapanya. Waktunya di sini hampir berakhir, tinggal satu minggu lagi. Dia telah mengumpulkan keberaniannya kali ini. Pergi meninggalkannya tanpa mengatakan apa pun pasti akan meninggalkan bekas luka yang besar pada Lune dan dia tidak menginginkan itu. Mengucapkan selamat tinggal memang sulit. Dia tidak mau. Lune adalah teman masa kecilnya, orang penting baginya‒cinta pertamanya‒. Yang hanya bisa dia lakukan adalah berdoa untuk kebahagiaan Lune.

"Ada apa? Mau kubantu mengurus taman lagi?” Lune bertanya dengan tidak semangat. Dia merasa lelah dengan hidupnya sejak hari itu. Ibunya masih hidup, tetapi seperti bagian penting dari dirinya sudah mati. Dia sibuk merawat ibunya. Dia marah pada dirinya sendiri karena menunjukkan sisi lemahnya. Dia harus kuat untuk ibu dan juga ayahnya. Bagaimana dia bisa membuat ayahnya bangga jika dia hanya bisa meratapi kematiannya?

“Gak tahu kenapa, tapi bunga matahariku tidak mekar musim panas tahun ini. Oleh karena itu, aku akan memberimu bunga ini,” Soleil menghadiahkan Lune seikat bunga berwarna biru. “Sebagai seorang yang menghargai kehidupan, aku tidak seharusnya memotong bunga-bunga indah ini. Tapi ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.”

Lune menerima bunga itu dengan bingung. Dia pernah bertanya pada Soleil di masa lalu, bunga apa itu. Jika dia mengingatnya dengan benar, itu adalah Iris. Mengapa Soleil memberikan bunganya padahal dia akan mengomel jika seseorang memetik bunganya?

“Aku sudah dapat panggilan untuk maju ke medan perang.”

“Aku 'dah tahu, kok.”

Soleil terkejut dengan jawaban cepat Lune. Bagaimana dia mengetahuinya? Tidak ada yang tahu tentang pemanggilannya ke medan perang. Dia merasa lebih bersalah dari sebelumnya. Dia hanya bisa menelan ludahnya, melupakan apa yang ingin dia katakan pada Lune. 

“Gak perlu mencemaskan aku. Menolong orang lebih penting,” Lune melanjutkan pernyataannya. “Serahkan saja urusan tamanmu kepadaku.”

“Bukan itu yang aku khawatirkan.”

“Lalu?”

"Kamu, Lune."

"Kenapa? Kamu takut aku akan menangis lagi jika kamu meninggalkanku? Terus aku akan jadi gila karena ditinggalkan semua orang?”

“Sejujurnya, iya.”

“Itu tidak akan terjadi lagi. Aku tidak siap menerima kepergian ayahku saat itu," ucap Lune. Kemudian dia melanjutkan, “Lagipula, aku yakin kamu akan kembali ke rumah. Aku tidak keberatan mengejarmu ke garis depan untuk mengantarmu pulang.”

Semua kekhawatiran yang awalnya menghantui pikiran Soleil seperti sirna. Apa yang dia khawatirkan selama ini? Sudahlah, itu tidak penting lagi. Dia menghembuskan nafas dengan lega, “Kalau begitu bunganya tidak dibutuhkan, ya ampun. Aku baru saja akan memberitahumu bahwa Iris Biru melambangkan harapan tetapi kamu sudah menemukan harapanmu tersendiri.”

“Sejujurnya, aku sudah curiga ada sesuatu yang aneh dengan kelakuanmu akhir-akhir ini. Kamu harus bertahan hidup dan kembali ke sini. Jangan membuatku melawan negara ini hanya untuk membawamu pulang, Soleil.”

Akhirnya perang berakhir tanpa adanya pemenang. Kedua negara mengalami kerusakan yang sangat besar dan meninggalkan banyak dampak bagi semua orang. Perang itu sendiri membuat kedua negara kehilangan sekitar 2/3 penduduknya. Ketika perjanjian damai yang baru terbentuk, semua orang akhirnya bisa merasa lega. Tentu saja, proses pemulihan tidak instan namun semua orang bekerja keras untuk mencapainya. Perlahan tapi pasti, semuanya akan kembali seperti semula, tidak, semuanya akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Sudah 3 tahun sejak dia meninggalkan desa ini. Tiga tahun menunggu. Lune menepati janjinya untuk menjaga taman Soleil. Terkadang dia masih berkelahi. Untuk apa? Jadi dia tidak akan memikirkan Soleil. Dia sangat merindukannya. Dengan berakhirnya perang, dia harusnya akan segera kembali. 

“Oh, bunga matahari mekar lagi tahun ini.” Lune menyentuh bunga tersebut dengan lembut. Dia hanya memperlakukan dua hal dengan baik: ibunya‒sampai akhir hidupnya‒ dan bunga Soleil. Bagaimana dengan Soleil? Ah, dia memang merusak potretnya dengan sengaja.

Dia merasakan seseorang datang dan dengan refleks yang cepat, dia mengambil sekop dan menekan leher si penyusup dengan sekop dalam sekejap. Topi yang dikenakannya terjatuh karena tindakan Lune yang tiba-tiba. Mata Lune membelalak saat dia menyadari siapa dia. Dia menjatuhkan sekopnya saat dia melihat wajah yang dikenalnya. Wajah sombong dengan alis tebal, dia tidak berubah sedikit pun (kecuali, dia lebih tinggi dan lebih berotot sekarang).

"Santai! Ini aku! Aku pulang!" katanya sambil menunjukkan senyum alaminya. Dia segera memeluk Lune dengan erat. "Aku sangat merindukanmu!"

“Selamat datang kembali, Soleil! Lihat! Bunga favoritmu sedang mekar sekarang!”


***


Mereka duduk di lantai kayu yang menghadap ke halaman belakang rumah Soleil. Sambil menatap Lune yang antusias bercerita tentang apa yang terjadi di desa maupun hidupnya selama tiga tahun belakangan ini. Soleil terpikir. 

Lune, tahukah kamu kenapa aku begitu menyukai bunga matahari? Sebagian besar arti bunga matahari berasal dari namanya, yaitu matahari itu sendiri. Bunga-bunga ini unik karena memiliki kemampuan untuk memberikan energi dalam bentuk nutrisi dan semangat—atribut yang mencerminkan matahari dan energi yang disediakan oleh panas dan cahayanya. Aku selalu ingin menjadi seperti itu. Aku selalu ingin menjadi seperti bunga matahari. Seperti namaku, meskipun namaku sendiri berarti matahari, tapi kamu adalah matahari bagiku.




 Alicia Austin Gumogar (205110201111009)
Sumber Gambar: Bunnings.com

Komentar

Postingan Populer