Inevitable String

 

Sumber: Pinterest

April, 1921

“Saat dunia sudah tidak lagi seperti ini, hal apa yang paling kamu ingin lakukan, Zora?”

Gadis itu terkesiap dari lamunannya. Sepasang mata berwarna cokelatnya yang indah langsung menatap sayu laki-laki di sebelahnya yang terbaring di rumput. Ia sudah tidak memiliki harapan yang tinggi nan indah akan dunia yang ditinggali mereka saat ini. Baginya, saat ini tidak ada yang dapat dilakukan selain bertahan hidup untuk hari esok.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Tentunya aku tidak punya harapan apapun lagi. Dunia ini sudah hancur, dan terasa seperti hari ini aku akan mati saja!” Ucap Zora sembari berusaha bangkit dari posisinya yang terbaring.

“Hei, mau kemana kamu? Aku belum selesai bicara, tahu.”

“Aku tahu. Aku hanya tidak mau membahas ini. Aku pamit, selamat malam.”

“Kamu hanya akan menghabiskan seluruh sisa hidupmu dalam kesedihan dan kesengsaraan jika kamu terus berlarut berpikir seperti itu.”

Zora pergi meninggalkan laki-laki itu yang terbaring di rumput sendirian. Laki-laki tersebut hanya memandangi punggung lawan bicaranya yang perlahan menjauh dari pandangannya. Di tengah kesendiriannya di malam yang bertaburan bintang tersebut, ia kemudian teringat akan sosok gadis manis nan ceria yang dahulu pernah menghiasi hidupnya. Namun sekarang, gadis itu telah berubah menjadi sosok yang dingin dan sensitif untuk beberapa hal, khususnya mengenai kehidupan. Padahal, gadis itu dahulu yang mengajarkan mengenai harapan dan kehidupan kepadanya.

Zora…” Laki-laki tersebut bergumam pelan.

Laki-laki tersebut mengerti akan situasi dan kondisi yang menerpa kehidupan Zora yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Zora pernah berkata bahwa keluarganya adalah hal yang paling berharga di dunia ini. Baginya, keluarga adalah simbol dari harapan akan dunia yang telah diambang kehancuran ini.      Namun sayangnya, tiga tahun yang lalu, gadis itu kehilangan seluruh anggota keluarganya secara bersamaan dalam tragedi pengeboman melalui udara di wilayah tempat tinggalnya. Peluncuran bom yang dilakukan oleh negara musuh tampaknya tidak terdeteksi sejak awal, menjadikan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan.

Didalam lamunannya, laki-laki tersebut memutar kembali kilas balik dari potongan-potongan kenangan disaat Zora masih memiliki figur yang hangat nan ceria. Rasanya dahulu, laki-laki itu dapat setiap hari mendengar ocehan dari gadis tersebut. Ocehan yang terkadang tidak penting, namun ia menyukainya.

Mengingat hal tersebut, laki-laki itu kemudian tersenyum dengan mata tertutup diatas rumput yang hijau di pinggir sungai yang mengalir tenang. Sambil menghela napasnya, ia kemudian berbicara kecil seperti berbisik, “Aku hanya rindu kamu yang seperti itu, Zora. Walaupun banyak sekali ocehan yang tidak penting itu darimu dulu.”

Ravindra, cepat pergi dari sini!”

Tiba-tiba saja laki-laki tersebut mendengar sebuah suara lirih perempuan entah darimana datangnya yang menyuruh dirinya untuk pergi meninggalkan lokasinya itu. Takut, hanya itu yang ia rasakan saat ini. Pasalnya, suara lirih tersebut mengetahui namanya. Setelah berdiam beberapa menit, ia baru tersadar bahwa Zora pernah menceritakan tempat ini, tempat yang mereka sering kunjungi tatkala mereka sedang penat akan kehidupan, mencari-cari tempat untuk memberikan ketenangan jiwa dan raga secara cuma-cuma.

Menurut cerita Zora, tempat ini dahulu sekali pernah menjadi tempat hilangnya nyawa sepasang kekasih yang sedang memancing di pinggir sungai tersebut. Sepasang kekasih ini terpandang sebagai pasangan pejuang. Pasalnya, mereka pernah memperjuangkan beberapa hak-hak kemanusiaan. Tapi naasnya, di usia yang tidak lagi muda, mereka harus kehilangan nyawanya. Penyebab kematian tidak diketahui. Namun pada zamannya, berita itu sangat populer di kalangan wilayah tersebut.

Ravindra yang mengingat cerita itu, langsung terkesiap dan menyadarkan dirinya agar tidak terbuai dan merasa takut. Lagipula, Ravindra juga bukan laki-laki penakut seperti yang sang ayah pernah katakan. Justru sebaliknya, ia malah menganggap suara lirih tadi adalah suara dari sisa roh dari sang perempuan tersebut yang belum tenang–mencari-cari penghormatan dan doa dari manusia lainnya yang masih hidup. Tak pikir panjang lagi, Ravindra langsung berdiri dari posisi berbaringnya, dan menghampiri sisi pinggir sungai yang arusnya tenang itu. Ia kemudian menundukkan kepalanya untuk memberikan penghormatan terhadap sepasang kekasih tersebut sambil berdoa, “Walaupun penyebab kematian kalian belum diketahui hingga saat ini, aku berharap jiwa kalian aman dan tenang disana, setenang aliran sungai ini.”

ZRAK! CRATSS!

Terlihat sebuah benda kecil runcing seperti pisau tampaknya menembus organ vital milik Ravindra. Ravindra yang sedang menunduk untuk memberikan penghormatan dan doa, tiba-tiba berteriak dan meringis kesakitan. Tangannya memegangi sumber dari rasa sakit itu, dilihatlah darah yang berwarna merah segar mengucur dan membasahi telapak tangannya.

Sakit.

Hanya itu yang Ravindra rasakan saat ini. Ingin rasanya ia meminta tolong kepada orang-orang, namun ia sadar sedari tadi, tidak ada orang lain yang berlalu-lalang atau sekedar melewati tempat ini, apalagi pada malam hari seperti sekarang. Tempat ini hanya dilewati oleh petani ataupun penggembala pada pagi hingga sore hari. Alhasil, Ravindra hanya berguling sedikit setelah jatuh sempoyongan untuk melihat siapa yang dengan tega menusukkan benda runcing seperti pisau ini ke organ vitalnya tersebut.

“…Tolong aku.”

Dengan terbata-bata, laki-laki yang memiliki sepasang mata berwarna biru tua itu mengerang kesakitan dan meminta pertolongan sambil menatap nanar sosok yang berdiri memegang pisau di depannya tersebut. Ia terkejut melihatnya. Perlahan-lahan pandangan Ravindra memudar. Kemudian pemandangan disekitarnya menjadi gelap–dan semakin gelap. Sebelum kehilangan total kesadarannya, Ravindra mengatakan sesuatu.

“…Kenapa?”

***

 

Februari, 2023

Helen.

Gadis yang mengenakan seragam berupa kemeja berwarna merah dan rok berwarna hitam tersebut melihat nametag berukuran kecil yang tertera di dada sebelah kirinya. Hari ini merupakan hari kelimanya untuk bekerja di sebuah restoran bintang lima di pusat kota. Baginya, tidak ada pekerjaan yang paling menyenangkan selain menjamu para pelanggan. Jadi, gadis yang memiliki postur tubuh tidak terlalu tinggi tersebut melamar untuk bekerja di restoran ini.

“Ini pesanannya, Pak. Satu pizza tuna deluxe dan dua orange mocktail. Pesanan sudah lengkap ya, saya izin untuk mengambil penanda pesanan di meja. Silakan menikmati hidangannya.”

“Tunggu! Kamu cantik juga, bolehkah saya meminta nomor teleponmu? Mungkin saya dan Aruna dapat mengajakmu untuk pergi malam nanti. Betul kan, Aruna?” Pria tersebut berbicara sambil melirik dan tersenyum nakal kepada pria di sebelahnya yang sedari tadi memandangi tubuh Helen.

Gadis itu kemudian terkesiap, mencoba untuk tetap sadar dan bersikap profesional sebagai pekerja pelayan restoran tersebut. Sebenarnya, tidak baru kali ini saja ia mendapatkan perlakuan seperti ini dari pelanggan yang ia jamu. Ketika hari pertama bekerja pun ia sempat mendapatkannya, namun tidak separah ini dengan tatapan tidak senonoh dan pada saat itupun langsung mendapatkan pertolongan dari rekan kerjanya yang lain. Namun kali ini, Helen mencoba berdiri sendiri menghadapi permasalahannya tersebut.

“Maaf, Pak. Anda tidak boleh mengatakan dan melihat saya seperti itu. Saya merasa seperti dilecehkan. Saya dapat melaporkan anda kepada pihak yang berwajib jika seperti itu.”

“Oh, mau melaporkan? Saya mempunyai kedua bola mata yang dapat melihat objek secara langsung di depan saya dan mulut yang dapat berbicara, jadi saya rasa semua itu adalah hak saya, hahaha.”

“Tapi itu semua dapat anda kontrol. Dan saya juga memiliki hak untuk melaporkan anda atas dasar pelecehan.”

Kemudian kedua pria paruh baya tersebut saling tertawa, menertawakan jawaban yang diberikan oleh Helen. Helen hanya bisa diam–geram, tampak kedua matanya menajam. Di titik inilah Helen tidak lagi dapat menahan amarahnya atas perlakuan yang didapatkan dari pelanggan tersebut. Mau bagaimanapun juga, Helen tetaplah manusia biasa yang memiliki titik kesabaran.

Aku harus menampar mereka berdua.” Gumam Helen dalam hati.

Namun, ketika hendak mengangkat salah satu tangannya, salah satu rekan kerjanya lagi-lagi menyelamatkan Helen dengan cepat. Ditahanlah tangan Helen untuk menampar kedua pelanggan yang kurang ajar tersebut. Mengetahui hal tersebut, Helen pergi ke ruang belakang tempat dimana para pelayan beristirahat kecil.

Kondisinya tidak terlalu baik. Rambutnya sedikit berantakan, dan kedua matanya terlihat berkaca-kaca seperti hendak menangis. Gadis yang memiliki mata cokelat itu menahan air matanya sedari tadi, ketika amarahnya tidak tersampaikan dengan baik. Ditataplah kaca yang ada di ruang istirahat tersebut, dan Helen mulai menangis.

“Helen, maafkan aku. Tapi kamu memang harus menahan tamparan itu sebelum kedua pelanggan kurang ajar itu menuntutmu dan restoran kita!” Datanglah rekan kerja Helen yang menahannya tadi di depan pelanggan tersebut.

“Tapi mereka melecehkanku, Nata. Aku juga memiliki harga diri walau sebagai pelayan. Lagipula, kamu itu laki-laki. Tidak tahu tentang perasaan seperti itu.”

“Apa yang kamu bicarakan? Tentu aku tahu! Dan jangan kamu pikir hanya perempuan saja yang mendapatkan perlakuan tidak enak seperti itu. Aku sebagai laki-laki, juga pernah. Dan rasanya memang seperti ingin marah, menumpahkan kata-kata dan bertindak kasar kepada mereka.”

Helen tercengang mendengar perkataan sekaligus pengakuan Nata, rekan kerjanya yang telah menyelamatkannya beberapa kali dari pelanggan yang kurang ajar. Ternyata, Nata juga pernah mendapatkan perlakuan tidak enak dari pelanggan-pelanggan yang datang. Helen yang tersadar langsung mencoba menghibur dan mengapresiasi tindakannya untuk menyelamatkan Helen dan karirnya tersebut.

“Maaf, Nat.. aku tidak tahu dan tidak bermaksud. Anyway, terima kasih banyak telah menyelamatkanku.”

“Sama-sama. Kalau kamu mau menghilangkan beban seharian ini, sepulang kerja nanti cobalah datang ke toko antik di pertigaan jalan. Kudengar di sana banyak sekali koleksi barang antik yang kamu jarang sekali temui di masa sekarang.”

Helen kemudian mengangguk dan pergi meninggalkan Nata sendirian di ruang istirahat karena harus kembali bekerja, menghadapi puluhan pelanggan yang siap untuk memesan makanan dan minuman mereka.

***

Jam telah menunjukkan tutupnya restoran. Itu artinya, semua pekerja dapat pulang masing-masing ke rumahnya. Begitu pula dengan Helen, ia menatap arlojinya dengan mata yang lelah. Karena lelahnya tersebut, ia secara tidak sengaja membenturkan arlojinya tersebut ke meja restoran.

“Sial! Kenapa hari ini seperti ini? Bahkan arloji kesayanganku ikut terbentur. Tunggu–oh masih bisa bergerak walaupun sedikit pecah. Oke, Sekarang pukul 21.19, aku ragu apakah toko antik yang dibicarakan Nata tadi masih buka..”

Gadis yang memiliki warna mata berwarna cokelat tersebut akhirnya berjalan keluar pergi meninggalkan restoran tempat ia bekerja. Setiap hari, ia selalu seperti ini–berjalan sendiri di tengah dinginnya kota tanpa ada yang menawarinya tumpangan. Tapi, Helen tidak mengeluh. Justru ia menyukai aktivitasnya ini.

Setelah berjalan kurang lebih lima menit, ia telah sampai di pertigaan jalan. Ditengoklah dimana letak toko antik yang dibicarakan Nata siang tadi. Terlihat satu bangunan dari sisi seberang jalan dengan lampu masih menyala yang menarik perhatian Helen.

Pasti itu.”

Helen kemudian berjalan menghampiri bangunan itu, dan melihat papan kecil di depan pintu yang bertuliskan “BUKA”. Dibukalah pintu toko yang terbuat dari kaca tersebut dan gadis itu mulai melihat sekelilingnya, mengamati isi dari tempat yang dibicarakan oleh rekan kerjanya tadi siang. Dibenaknya, hanya terdapat satu kata untuk tempat ini. Antik.

TING! TING! TING!

Tiba-tiba, terdengar sebuah suara dari arah sebelah kanan Helen, suara yang tampaknya seperti pukulan kepada benda bermaterial besi. Karena suara tersebut terdengar sangat jelas dan cukup mengganggu pendengarannya, gadis tersebut kemudian menghampiri sumber suara itu.

“Eh.. permisi?”

Setelah dihampiri, ternyata sumber suara tersebut datang dari laki-laki yang sedang berkutat dengan sebuah benda yang bermaterial besi. Laki-laki itu oleh Helen ditaksir memiliki usia yang kurang lebih seusia dengannya, atau jika berbeda mungkin hanya memiliki perbedaan satu atau dua tahun saja.

“Wah–Selamat datang di toko antik Aiden. Kamu pengunjung yang beruntung, hari ini aku buka hingga pukul 23.00. Cukup lama untuk melihat-lihat, bukan?”

“Iya.. kurasa. By the way, aku ingin bertanya, ketika aku pertama kali masuk toko ini, aku melihat ada sebuah sepeda di sudut ruangan. Sepeda itu sangat cantik dengan warna putih dan sedikit bunga menjalar di bagian setang.”

“Tentu saja, itu sepeda koleksi awal tahun 1900-an. Sayangnya, pemiliknya waktu itu tidak diketahui. Ayo kita lihat lagi.”

Laki-laki yang memiliki mata berwarna biru tersebut mengajak Helen untuk menghampiri sepeda yang dimaksudnya tadi. Helen mengikutinya dari belakang tanpa berbicara sepatah kata pun. Setibanya di sepeda tersebut, laki-laki itu kemudian berbicara dengan raut yang sedikit kecewa.

“Maaf, sayangnya sepeda cantik ini ternyata tidak dijual.”

“Tidak apa-apa! Sebenarnya, aku hanya ingin melihat-lihat. Rekan kerjaku merekomendasikanku untuk mencoba mengunjungi tempat ini, jadi aku mampir kemari. Setelah kulihat, toko ini sangat bagus, dan banyak barang-barang unik yang belum pernah aku lihat sebelumnya.”

Mendengar hal itu, laki-laki tersebut tersenyum dengan lesung di pipinya. Bagi laki-laki itu, Helen sedang melontarkan pujian kepadanya yang menurutnya cukup untuk membuatnya bangga akan toko yang sedang ia rawat dan jaga sekarang.

“Perkenalkan, namaku Aiden. Seperti nama toko ini, ya itu namaku sendiri. Aku pemilik sekaligus yang menjaga dan merawat barang-barang antik disini. Siapa namamu? Maaf kalau terkesan lancang menanyakan namamu. Kamu tidak perlu menjawabnya jika tidak mau.”

“Helen.”

Gadis itu menjawab dengan singkat sambil melihat sekelilingnya–melihat dan mencari sebuah benda yang sekiranya dapat menarik perhatiannya lagi. Di tengah pengamatannya, seketika matanya berhenti mencari, dan tertuju kepada satu benda yang berbentuk seperti sebuah buku tua berwarna cokelat muda dengan sebuah pita.

Aiden, sang penjaga sekaligus pemilik toko, kemudian menangkap sorotan mata lawan bicaranya ke sebuah objek di etalase tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Ia yang menyadari Helen sedang melihat salah satu benda koleksinya tersebut, berinisiatif untuk membuka suara lagi.

“Itu album foto milik sepasang kekasih ketika zaman perang dahulu. Kakekku menemukannya di loteng kediaman temannya di kota sebelah. Tertarik untuk melihatnya?”

“Ya, tolong.”

Kemudian laki-laki itu pergi mengambil album foto tersebut, dan memberikannya kepada Helen. Helen dibuat terkejut melihatnya karena kualitas dari album foto tersebut masih terlihat bagus meskipun sudah berumur ratusan tahun. Gadis itu menilai bahwa Aiden cukup rajin dan sangat kompeten dalam menjaga dan merawat barang-barang.

Satu persatu lembaran album foto tersebut dibuka oleh Helen. Terlihat sepasang kekasih sedang berpose di depan kereta diantara keramaian stasiun pada saat itu. Seperti yang dikatakan oleh Aiden tadi, foto ini diambil ketika zaman perang. Tampaknya, foto itu merupakan foto sesudah sang pria datang kembali dari medan perang ke sisi sang wanita.

“Aku hanya ingin memiliki hubungan seperti mereka ini. Jatuh cinta, kemudian menunggu mereka pulang dengan selamat dari perangnya masing-masing dan bertemu lagi dengan bahagia. Ini adalah jenis cinta yang kamu temui hanya sekali dalam seumur hidupmu.” Ucap Helen sambil tersenyum.

Aiden ikut tersenyum, larut dalam foto dan ucapan Helen tersebut. Tak disangka, laki-laki itu diam-diam juga memperhatikan arloji yang terpasang di tangan sebelah kiri Helen. Ia mengamati bahwa arlojinya tersebut sudah terlihat retak. Dari benak Aiden kemudian terlintas niat yang baik, ia hendak memberikan gadis itu suvenir secara cuma-cuma dari tokonya tersebut.

“Helen.. sebelum kamu pulang, aku ingin memberikanmu sesuatu sebagai suvenir. Tolong diterima dan anggap saja ini sebagai rasa terima kasihku karena telah mampir ke tokoku. Tunggu sebentar disini.”

Helen kemudian berdiam sejenak dan merasa kebingungan. Maksudnya, dia hanya mampir sebentar untuk mampir dan dia sudah mendapatkan suvenir dari toko yang bagus ini dan unik ini? Dalam hatinya berkata, jika ia membelinya mungkin akan dikenai harga yang sangat mahal.

Setelah menunggu kurang lebih 10 menit, Aiden kemudian membawa sebuah arloji berwarna emas yang masih terlihat bagus. Helen melihatnya dengan raut yang cukup gembira namun juga perasaan yang was-was, karena ia diberikan sesuatu oleh orang yang asing, orang yang baru ia kenal satu jam yang lalu.

“Ini untukmu Helen, sebuah arloji emas. Aku lihat arlojimu sudah retak, maaf jika lancang sudah diam-diam melihatnya, tapi aku tidak sengaja ketika melihat tanganmu dan melihat arloji tersebut.”

“Ini serius, Aiden? Aku tidak akan dikenakan biaya sewaktu-waktu untuk arloji ini, bukan? Karena ini masih sangat bagus sekali!”

“Ya, aku serius. Coba pakailah, itu terlihat bagus padamu.”

Helen kemudian menerima pemberian Aiden dan mencoba memakainya. Kedua matanya yang berwarna cokelat itu berbinar karena terlalu senang untuk melihat arloji tersebut cocok di tangannya yang mungil itu. Tak banyak bicara dan tak memiliki kata-kata apapun lagi untuk membalas kebaikan Aiden, Helen hanya bisa mengucapkan satu kata sambil mendongakkan kembali kepalanya kearah laki-laki tersebut.

“Terima kasih banyak, Ai–“

Seketika, Helen menahan ucapannya. Gadis itu terkejut karena yang ia lihat di sekelilingnya bukanlah toko antik milik Aiden lagi, melainkan sebuah jalan setapak dengan ladang yang luas dan sungai dengan aliran air yang tenang pada sore hari. Merasa takut, ia kemudian mencoba untuk menyusuri jalan setapak tersebut dan menemukan sepasang laki-laki dan perempuan yang sedang duduk berdua di pinggir sungai, sambil berbicara santai. Karena Helen merasa bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya beberapa menit yang lalu, ia menghampiri kedua laki-laki dan perempuan tersebut, hendak bertanya dan meminta bantuan.

DOR! DOR!

Tiba-tiba ditengah perjalanan Helen hendak menemui dan bertanya kepada kedua orang tersebut, suara seperti sebuah tembakan terdengar. Suara tersebut cukup kencang, diduga olehnya ada tepat di depannya. Benar saja, setelah beberapa detik suara tersebut, kedua tubuh laki-laki dan perempuan ini tumbang. Helen yang menyadari bahwa ia baru saja menyaksikan adegan pembunuhan, langsung berteriak meminta tolong. Namun anehnya, tidak satupun dari mereka mendengar dan melihat Helen berteriak.

Helen merasa janggal. Ia kemudian menghampiri kedua jasad itu, dan dibuat sangat terkejut. Matanya terbelalak.

“I-ini.. Nata? Dan aku?”

Ditengah kebingungannya tersebut, gadis itu hanya bisa mengernyitkan dahinya dan mencoba memahami apa yang terjadi disini dan runtutan kejadian-kejadian yang ada di luar nalarnya. Menurutnya, ini semua sangat tidak masuk akal. Diantara itu ada yang menarik perhatiannya juga, sebuah kalung yang terpasang di leher mereka berdua. Sebuah kalung berbentuk hati dengan inisial di dalamnya “K & T”. Diasumsikan, mereka adalah pasangan.

Helen mencoba memejamkan mata dan berharap ini hanyalah mimpi. Namun, ketika ia hendak membuka kembali matanya, ia sudah berada di tempat yang sama namun dengan latar waktu yang berbeda, kali ini malam hari. Dan tidak ada jasad pembunuhan yang mirip dengan dirinya dan Nata tadi.

“Kamu hanya akan menghabiskan seluruh sisa hidupmu dalam kesedihan dan kesengsaraan jika kamu terus berlarut berpikir seperti itu.”

Suara seorang laki-laki kemudian terdengar dari pendengaran Helen. Di pandangannya, ia melihat sesosok laki-laki dan perempuan sedang duduk bersama di rumput di pinggir aliran sungai yang tenang tersebut. Selang beberapa detik kemudian perempuan tersebut beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke arah Helen. Laki-laki tersebut ikut menolehkan kepalanya sembari perempuan tersebut pergi dari dirinya. Helen dibuat terkejut lagi. Pasalnya, yang ia lihat tersebut adalah Nata dan dirinya lagi. Hal yang sama yang dilihat olehnya sebelum waktu berubah menjadi malam hari.

“INI GILA! KENAPA AKU MELIHAT DIRIKU DAN NATA?!”

Helen berteriak, namun seperti tidak ada yang mendengarnya. Kemudian ia memilih untuk pergi mengikuti sosok yang mirip dengan dirinya tersebut.

Setelah ia mengikutinya selama 10 menit, berhentilah sosok itu di sebuah gubuk kecil yang masih terlihat bagus. Gubuk itu diperkirakan oleh Helen merupakan tempat dimana sosok ini biasa mengunjunginya. Ia masuk dan Helen dibuat terkejut lagi ketika sosok gadis yang mirip dirinya tersebut membawa sebuah pisau. Terlihat marah, begitulah ekspresi gadis itu.

“Ravindra! Teganya kamu, aku memang sudah tidak punya harapan jika itu tanpa mereka!”

Kemudian, ia pergi lagi ke arah dimana dirinya tadi meninggalkan laki-laki tersebut sambil membawa sebilau pisau. Helen mengikuti gadis itu lagi, dan ia sadar bahwa gadis tersebut memilih rute jalan yang persis dengan yang tadi ia ambil ketika hendak pergi dari laki-laki tersebut. Perasaannya buruk. Ia kemudian mengambil langkah lebih cepat daripada sosok gadis itu, agar lebih cepat sampai kepada laki-laki itu dan memperingatinya akan bahaya yang akan datang kepadanya. Entah darimana, tetapi insting ingin melindungi laki-laki yang mirip Nata itu menjadi kuat. Ditambah, dia memiliki penglihatan sebelum ini bahwa dirinya dan Nata memakai sebuah kalung pasangan dan kehilangan nyawanya berdua karena tertembak.

“Ravindra, cepat pergi dari sini!” Helen berteriak sekuat tenaga mencoba menolong dengan memperingati, namun laki-laki itu hanya tersentak kaget dan mencari-cari arah dimana seseorang meneriakkan namanya.

Helen melihat dari jarak beberapa meter, sosok gadis yang mirip dirinya tersebut akan sampai sedikit lagi dekat dengan laki-laki itu yang sedang berdiri menunduk di pinggir aliran sungai yang tenang. Helen hanya bisa menangis dan seketika merasakan perasaan bersalah.

ZRAK! CRATSS!

Sebuah tubuh jatuh tersungkur. Laki-laki itu hanya dapat bergerak sedikit dengan menggulingkan badannya untuk melihat siapa yang tega menusukkan benda tajam tersebut ke organ vitalnya. Darah berceceran dimana-mana. Helen hanya dapat menyaksikan sosok yang mirip dirinya sendiri tersebut baru saja membunuh sesosok laki-laki yang mirip Nata, dan pasangannya di latar waktu ketika sore hari. Di momen inilah ia sadar, kemungkinan Nata yang merupakan rekan kerjanya yang gemar menolongnya tersebut merupakan pasangannya kelak.

Helen hanya dapat menangis melihat pemandangan di depan matanya tersebut. Begitu pula sosok gadis yang mirip dengan Helen. Sekarang, raut wajahnya yang sedari tadi berapi-api sudah berubah, menampilkan rasa penyesalan yang sangat dalam. Dijatuhkanlah pisau tersebut dan ia menutup wajah dengan tangannya yang penuh darah sambil menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berbisik.

“Kamu benar, Rav. Hanya kesengsaraan dan kesedihan yang kurasakan hingga tega membunuhmu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku…”

“Aku gagal, tidak bisa menyelamatkannya..” Helen menundukkan kepalanya sambil berteriak dengan rasa sakit.

Tiba-tiba saja, Helen merasakan ada seseorang yang mendekatinya. Sedikit takut, namun ia mencoba memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, melihat siapa yang mendekatinya.

“Helen, kamu tidak perlu takut. Aku Zora. Kamu tidak perlu merasa bersalah seperti itu, ini salahku. Kita hidup di zaman yang berbeda. Dan kamu memang tidak bisa menyelamatkannya, tetapi itu bukan salahmu.”

“TAPI AKU MEMBUNUHNYA!”

“Bukan kamu yang membunuhnya, tetapi aku. Aku sudah mengatakannya, kita hidup di zaman yang berbeda, walaupun fisik kita sama. Namun aku yakin, kamu lebih baik dariku. Aku yakin itu. Maafkan dirimu yang lain ini, maafkan dirimu di masa lalu ini. Kamu harus bisa merelakannya. Itu takdir yang diterimanya, sekuat apapun kamu menyelamatkannya, itu tidak akan mengubah takdirnya dari kematian. Inevitable.”

Helen masih menangis mendengar sosok gadis yang mirip dirinya tersebut berbicara tentang dirinya dengan nada seperti menahan tangis. Kemudian gadis itu membelai rambut milik Helen dengan lembut sambil berkata lagi.

“Jadilah manusia yang lebih baik daripada diriku, ya. Aku sengaja pergi ke masa depan untuk memberitahumu mengenai toko antik itu melalui ingatanmu yang terhubung denganku. Aku buat kamu mengunjunginya dan memakaikan arloji emas itu di tanganmu agar aku dapat bertemu secara langsung denganmu untuk meminta maaf dan memberikan beberapa pesan. Maaf jika aku tidak bisa mewujudkan impian kita seperti di album foto itu.”

Kemudian jarum dari arloji berwarna emas yang dipakai oleh Helen tersebut diputar oleh Zora kearah ketika Helen pertama kali melihat sebuah toko yang menarik perhatiannya karena kilauan lampu dari bangunan-bangunan yang ada di sebelahnya.

Helen memejamkan mata. Terlihat ia sedang berdiri di seberang pertigaan tempat pertama kali ia mencari-cari dimana toko antik yang dibicarakan oleh Nata sewaktu bekerja tadi. Beberapa detik matanya menelusuri, hanyalah kegelapan yang ada di tempat ia berdiri sekarang. Tidak ada lagi kilauan lampu yang menerangi dari bangunan-bangunan tersebut. Helen merasa aneh. Bahkan, bangunan toko yang ia datangi tadi tidak ada lagi, hanyalah lahan kosong yang bertuliskan di papan, “dijual”.

Terlalu lelah gadis itu untuk memikirkan apa yang sebenarnya baru terjadi kepadanya, ia memilih untuk pulang ke rumahnya dan langsung mengambil posisi yang terbaik untuk mengistirahatkan tubuhnya dari perasaan lelah dan rasa bersalahnya.

***

Kejadian yang menimpa Helen kemarin malam bukanlah akhir bagi gadis itu untuk berhenti melanjutkan hidupnya. Ia tetap memakai kembali seragam kerjanya dan pergi ke restoran tempat ia bekerja. Meskipun dilanda perasaan bersalah, ia kembali mengingat perkataan Zora–gadis yang mirip dirinya dari waktu yang berbeda. Bahwa ia tidak perlu merasa bersalah lagi. Selain itu, ia ingin berbicara secepatnya bersama Nata mengenai kejadian yang menimpanya tersebut.

Sesampainya gadis itu di restoran tersebut, ia mencari-cari Nata. Namun, ia berujung tidak menemukan laki-laki tersebut. Aneh. Biasanya, ia telah datang lebih dulu dibandingkan Helen. Setiap pagi bahkan, ia selalu ada di ruang istirahat belakang. Jadi, gadis itu menanyakan keberadaan Nata kepada rekan kerjanya yang lain.

“Dimana Nata? Aku tidak melihatnya sedari tadi.”

“Siapa itu Nata? Apakah karyawan baru disini? Setahuku pihak restoran menutup lamaran pekerjaan dan terakhir merekrut kita.”

“Nata! Kamu tidak tahu dia? Dia karyawan yang sangat rajin, bahkan dia telah datang lebih dahulu daripada kita semua setiap hari.”

“Maaf, aku tidak tahu, kurasa kamu hanya berhalusinasi, Hel. Permisi, aku mau bersiap-siap bekerja.”

Mendengar hal tersebut, Helen lagi-lagi hanya diam dan mengernyitkan dahi. Dimulai dari kemarin malam yang aneh, bahwa toko antik yang dibicarakan Nata tersebut di pertigaan jalan, ternyata tidak ada dan hanyalah lahan kosong. Dan sekarang keberadaan mengenai eksistensi Nata yang tidak diketahui sama sekali oleh karyawan lain disini dan mengira Helen hanya berhalusinasi. Lantas, siapa yang sedari hari pertama bekerja gemar menolongnya dan sudah berada di restoran dengan rajin di pagi hari?

Semua itu memenuhi isi pikirannya, dan gadis itu ditinggalkan oleh rasa penasaran yang mendalam dan kesedihan. Namun, ia dapat memilih untuk mengambil reaksi dan tindakan seperti apa. Kemudian hal yang ia pilih adalah meyakini bahwa kejadian semalam merupakan sebuah penglihatan dari dirinya di masa lalu ataupun masa yang berbeda sekaligus memperingati Helen agar di masa depan, ia dapat berhati-hati ketika mengambil sebuah keputusan serta dapat melindungi dirinya sendiri maupun orang tersayangnya dari bahaya yang mengintai.

Meskipun kejadian semalam masih mengiris hatinya, Helen berusaha tersenyum kecil dan bergumam dalam hati setelah meyakini hal tersebut.

“Jadi, kamu Nata ya? Ataukah kamu akan memakai nama lain lagi untuk menjadi pasangan impianku seperti di album foto waktu itu? Jangan khawatir, selama apapun itu, aku akan menunggumu. Aku tidak akan kehilanganmu untuk yang ketiga kalinya.”

 

SELESAI


Tazkia Asih Febrianty (205110201111010)

Komentar

Postingan Populer